Kritik-Otokritik Sistem Perkaderan PMII

Posted by azzam Label:

Oleh: A.Malik Haramain

            Indikator termudah dan seringkali dijadikan ukuran keberhasilan dari sebuah organisasi adalah seberapa banyak (kuantitas) dan seberapa hebat (kualitas) intregitas maupun kapabilitas out put(alumni) yang dihasilkannya. Miskinnya sebuah organisasi dalam me-mereproduksi intelektual, tokoh/ pemimpin yang memiliki kecakapan dibidangnya (profosional ), kritis, visioner dan berkarekter akan menunjukkan macetnya sebuah organisasi yang berarti pula kegagalan kaderisasi di tubuh organisasi tersebut. Pemahaman public yang seperti ini sedikit banyak juga berpengaruh pada system dan pola perkaderan PMII.
          PMII menjadikan dirinya sebagai organisasi massa sekaligus organisasi kader dengan basis massa terbesar di Indonesia. Beban berat tersandang dipundak PMII. Sebab besarnya massa yang dimiliki, menuntut PMI harus mampu mengantrakan warganya memahami realitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya melalui proses pembebasan (liberasi) dan kemanusiaan(humanisasi). Oleh karena itu, system perkaderan di PMII, bukan untuk mengarahkan kadernya sebagai individu-individu yang terasing(alienasi) dan tercerabut dari reaitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, yang mengantarkan para kader PMII hanya mampu menonton gerak sejarah dan perubahan, bukan pencipta sejarah serta perubah itu sendiri. Namun, system perkaderan di PMII diarahkan terciptanya individu-individu yang merdeka, otonom, independent, baik dalam berpikir, bersikap maupun berprilaku serta memiliki kapasitas dan kepedulian berpartisipasi secara kritis dalam setiap aksi perubahan menuju perubahan menuju tatanan masyarakat, negera dan dunia yang PMII cita-citakan.
          Kader merupakan roh organosasi. Karena itu perkaderan di PMII diformulasikan secara sistematik dan terencana dengan baik, sehingga menjadi ujung tombak keberlangsungan dan kesinambungan dinamika organisasi. Tersistematis artinya, pola perkaderan di PMII mengandung esensi dalam rangka memformulasikan tahapan jenjang kader yang dibangun di atas kerangka pijakan yang jelas, dalam bingkai ideology dan paradigma gerakan, serta menyangkut muatan yang harus dipunyai oleh kader.
          Terncana, artinya perkaderan di PMII diproyeksikan bagi terlaksananya pola kaderisasi yang tersusun secara regular, berjenjang dan sesuai dengan visi serta misi organisasi. Oleh karena itu, gerak perkaderan di PMII diarahkan tersedianya human resources penopang utama  bagi keberlangsungan organisasi yang disandarkan pada klafisikasi kader sesusai dengan tingkatannya demi mengambat amanat, nilai-nilai, serta ide-ide besar PMII.
          Namun, problem mendasar PMII hari ini adalah sulitnya mencari “kader ideologis”, yang sesuai dengan idealisasi paradigma pengkaderan di atas. Ahrus di akui, prakmatisme yang di bangun (baik di sengaja atau tidak,di sadari atau tidak) oleh beberapa kader atau para alumni PMII yang mencoba membangun loyalitas kader dengan setumpuk tawaran prakmatisme, telah mengkibatkan kader-kader PMII mengalami deviasi (erosi idealisme dan moralitas) dari tujuan semula sebagai organisasi kader. Kentalnya prakmatisme, membawa runtuhnya nilai-nilai ideologis kader akan sistem nilai, keyakinan dan sikap yang selalu menjunjung tinggi kebenaran, kesdilan, dan kejujuran, apapun taruhannya. Hal ini berimplikasi pada menurunya kadar kritisme pemikiran dan gerakan yang membuat PMII mengalami degradasi cukup tajam disana sini.
Indikator  termudah adalah sulitnya kita mencari korelasi nyata antara sepak terjang kader dengan basis ideology, dan paradigma yang dimiliki PMII dari beberapa penglihatan sederhana yang pernah saya lakukan bersama sahabat lainya, ada kecendrungan besar dari para pengurus atau kader PMII dari mulai Cabang hingga Rayon bahwa apa yang mereka lakukan selama ini, lebih banyak merupakan”reaksi spontan” atas realitas yang terjadi, bukan berdasarkan implementasi proses (hasil) perkaderan sistematik dari PMII. Artinya, PMII hany mampu memberika wadah untuk berkiprah, tetapi gagal memberikan “atmosfer” kondusif yang siap mendorong terciptanya proses dan hasil kaderisasi yang terbaik sesuai dengan mekanisme/ pola pengkaderan yang ada di PMII.
Kalau toh kemudian ada beberapa kader PMII yang kritis, piawai dalam gerakan aksi jalanan dan pemberdayaan, serta “melek wacana” (intelek), itu lebih di karenakan kuatnya kemauan dan kerja keras individu kader itu sendiri. Bukan imbas nyata dari proses pengkaderan terencana dan sistematik dari PMII. Bahkan, dibeberapa  daerah justru ada kecenderungan besar, bahwa kalau mereka ingin mengasah dan menambah kemauan intelektual serta menemukan habitat yang kondusif bagi pergulatan dengan segala discourse keilmuan, keislaman, social humaniora ataupun filsafat, harus mancarinya di tempat lain luar PMII. Mereka lebih banyak bergabung dengan kelompok kajian-kelompok kajian yang didirikan oleh para mantan alumni PMII komunitas NU lainnya ataupun kelompok diluar tradisi PMII atau NU sendiri. Begitu dengan sahabat-sahabat kita yang sangat getol dengan”gerakan jalanan”, lebih merasa punya eksisitesi dan terakomodasi di berbagai organisasi semi legal, bukan di PMII.
Fenomena di atas, sungguh meresahkan. Sebab PMII tidak lagi di yakini mampu mewadahi segebok idealisme mahasiswa, baik dalam ranah pemikiran ataupun pergerakan. Justru kelompok kajian dan organisasi semi legal yang tidak memiliki kaitan structural apapun dengan PMII yang mampu memberikan apa yang mereka butuhkan. Memang hal ini tidak bias digeneralisir sedemikian rupa. Namun sekecil apapun kadar kecenderungan di atas, tetap harus menjadi concern bersama dari seluruh penguruh dan aktivitas PMIIdimanapun saja, agar fenomena ini tidak semakin menggelinding membentuk bola salju yang kian membesar, dan mencerabut tradisi kritisisme yang selama ini telah dengan susah payah dibangun, apalagi sampai membahayakan eksistensi PMII sendiri.
Dasar teologis, filosofis maupun paradigmatik sistem dan pola perkaderan di PMII sebenarnya sudah cukup baik. Bahkan oleh beberapa kalangan di luar PMII diakui cukup komplit, terpadu, berbobot, dan dalam sisi metodologis cukup sistematis daripada yang ada di organisasi  kemahasiswa lainnya. Namun, harus diakui bahwa persolannya kemudian adalah bagaimana mendialogkan sistem dan panduan perkaderan tersebut dengan “beban tradisi” dari resources PMII yang kebanyakan berasal dari latar social rural-agraris tradisional, komunal dan cenderung agak kolot ditambah mainstream dinamika perkembangan masyarakat yang begitu cepat dan sulit dikontro.
Sejumlah persoalan diatas merupakan realitas obyektif sebagai implikasi dari persentuhan PMII dengan berbagai kondisi obyektif internal organisasi kampus, dan lingkungan sekitarnya. Tidak adil tentunya, membandingkan pola perkaderan antara cabang yang satu dangan lainnya. Sebab, hal itu akan sangat dipengaruhi oleh basis material(resourse) serta kondisi social-kultural daerahnya masing-masing. Apalagi kemudian membuat cabang mana yang paling berhasil melaksanakan perkadera di PMII. Apakah Yogyakarta bias dinilai sebagai cabang yang paling sukses melakukan perkaderan dalam hal ”pendigdayaan”  intelektual kadernya , cabang Malang yang dianggap konsisten dalam melakukan perkaderan regular dan tertata organisasinya, atau cabang Salatiga yang dianggap paling mampu mencipatakan kader yang ahli dalam advokasi, cabang-cabang di Sulawesi Selatan sebagai penghasil kader-kader tingkat nasional, Jakarta sebagai penghasil tokoh-tokoh gerakan yang kritis dan berani dan lain sebagainya. Semua itu belum bisa menjadi ukuran. Perlu pembuktian lebih lanjut dan mesti dibarengi dari seluruh cabang yang PMII miliki.
Meski begitu, kita semua harus mengakui bahwa jumlah kader PMII yang mampu meneruskan studinya hingga S-2 dan S-3 semakin banyak, tidak hanya didominasi hanya oleh para mahasiswa fakultas/ jurusan agama, tetapi tidak sedikit yang berasal dari fakultas / jurusan ilmu-ilmu social-humonioran bahkan eksata. Sekarang ini tidak sulit mencari kader PMII yang menempuh magisteratau doctoral di UI, IPB, ITB, UGM ataukah perguruan tinggi bergengsi lainnya. Tidak hanya itu, sudah puluhan jumlahnya kader-kader PMII yang mendapatkan bea siswa sekolah di luar negeri.
Kemidan sejak paruh terakhir dasa warsa ’90 an hingga sekarang,para alumni PMII mulai tersebar diberbagai sector kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan Indonesia. PMII itu kebanyakan kiai, dosen agama, politisi , dan aktivs LSM saja. Realitas ini tentunya cukup mengembirakan. Namun hal itu masih belum bisa dipakai sebagai satu-satunya parameter bahwa perkaderan di PMII telah berhasil dan sesuai dengan perkaderan yang telah ada ?.                 
                                             
                                                                             Penulis adalah Mantan Ketua PB PMII
read more “Kritik-Otokritik Sistem Perkaderan PMII”

Melacak Akar Ideologi Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia

Posted by azzam Label:


Student movement is a part of history in Indonesia that always active to take a part of every change period. They called as an agent of change. However, there is not enough data, principally ideology, to explain the attribute. This article tries to investigate ideology of student movement, especially Islamic student movement in Indonesia. Among them are: Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo, HMI MPO, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) and Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). The article also explored their political expression

Keywords: ideologi, teologi, politik, gerakan, mahasiswa IslamPendahuluan
Keberadaan gerakan mahasiswa dalam konstelasi sosial politik di negeri ini tak bisa dipandang sebelah mata. Diakui atau tidak, keberadaan mereka menjadi salah satu kekuatan yang selalu dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan (interest group) terutama pengambil kebijakan, yakni negara. Diantara elemen-elemen gerakan mahasiswa yang memiliki pengaruh signifikan adalah gerakan mahasiswa Islam. Mereka adalah organisasi massa (ormas) mahasiswa yang memiliki basis konstituen yang jelas dan massa pendukung yang besar seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo, HMI MPO, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).

Sepintas Gerakan Mahasiswa Islam di Indonesia
Dalam sejarah perjalanan bangsa pasca kemerdekaan Indonesia, mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan. Tumbangnya Orde Lama tahun 1966, Peristiwa Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Sepanjang itu pula mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan.

Menurut Arbi Sanit,[5] ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier.

Disamping itu ada dua bentuk sumber daya yang dimiliki mahasiswa dan dijadikan energi pendorong gerakan mereka. Pertama, ialah Ilmu pengetahuan yang diperoleh baik melalui mimbar akademis atau melalui kelompok-kelompok diskusi dan kajian. Kedua, sikap idealisme yang lazim menjadi ciri khas mahasiswa[6]. Kedua potensi sumber daya tersebut ‘digodok’ tidak hanya melalui kegiatan akademis didalam kampus, tetapi juga lewat organisasi-organisasi ekstra universitas yang banyak terdapat di hampir semua perguruan tinggi.

Di Indonesia terdapat lima organisasi mahasiswa ekstra universitas atau sering dinamakan ormas mahasiswa, yang cukup menonjol, yaitu HMI Dipo (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah), HMI MPO (Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi) dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Kesemuanya menarik untuk dikaji karena sama-sama membawa label Islam sebagai identitas organisasinya, namun memiliki corak wacana dan strategi perjuangan yang khas. Berikut sekilas perjalanan dari ormas mahasiswa Islam tersebut:



1. Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Dipo

HMI lahir ditengah-tengah suasana revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan, yaitu pada 5 Februari 1947 di kota Yogyakarta. Lafran Pane dan kawan-kawan merasa prihatin dengan kondisi umat Islam saat itu yang terpecah-pecah dalam berbagai aliran keagamaan dan politik serta jurang kemiskinan dan kebodohan. Oleh karena itu dibutuhkan langkah-langkah strategis untuk mengambil peranan dalam berbagai aspek kehidupan. Kemudian didirikanlah wadah perkumpulan mahasiswa Islam yang memiliki potensi besar bagi terbinanya insan akademik, pencipta, pengabdi yang bernafaskan Islam dan bertanggung jawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah.

Dalam perjalanannya, HMI telah banyak melahirkan kader-kader pemimpin bangsa. Hampir di sepanjang pemerintahan Orde Baru selalu ada mantan kader HMI yang duduk di kabinet. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran signifikan HMI dalam keikutsertannya menumbangkan Orde Lama serta menegakkan Orde Baru. Selain itu, sebagai ormas mahasiswa Islam yang independen dan bergerak dijalur intelektual, tidak jarang HMI melahirkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam kontemporer di Indonesia. Beberapa kader HMI bahkan sering melontarkan wacana pemikiran Islam yang mengundang kontroversi. Misalnya saja wacana sekulerisasi agama yang diungkapkan Nurcholish Madjid melalui slogannya yang terkenal “Islam Yes, Partai Islam No!.”



2. Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)

Nahdlatul Ulama (NU) sebagai ormas Islam terbesar di Indonesia pada tanggal 17 April 1960 di Surabaya mendirikan sebuah organisasi sebagai wadah pergerakan angkatan mudanya dari kalangan mahasiswa yakni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Pada perkembangannya di awal tahun 1970-an PMII secara struktural menyatakan diri sebagai organisasi independen, terlepas dari ormas apa pun, termasuk dari sang induknya, NU.[7]

Pada masa pergerakan mahasiswa 1998, menjelang peristiwa jatuhnya Soeharto, PMII bersama kaum muda NU lainnya telah bergabung dengan elemen gerakan mahasiswa untuk mendukung digelarnya people’s power dalam menumbangkan rezim Soeharto. Sikap ini telah jauh mendahului sikap resmi kiai senior NU yang lebih konservatif yakni senantiasa menjaga kedekatan dengan pusat kekuasaan untuk membela kepentingan pesantren. Di jalur intelektual PMII banyak mengembangkan dan mengapresiasikan gagasan-gagasan baru, misalnya mengenai hak asasi manusia, gender, demokrasi dan lingkungan hidup.



3. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)

Ketika situasi nasional mengarah pada demokrasi terpimpin yang penuh gejolak politik di tahun 1960-an, dan perkembangan dunia kemahasiswaan yang terkotak-kotak dalam bingkai politik dengan meninggalkan arah pembinaan intelektual, beberapa tokoh angkatan muda Muhammadiyah seperti Muhammad Djaman Alkirdi, Rosyad Soleh, Amin Rais dan kawan-kawan memelopori berdirinya Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) di Yogyakarta pada tanggal 14 Maret 1964.

Sebagai organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah sifat dan gerakan IMM sama dengan Muhammadiyah yakni sebagai gerakan dakwah Islam amar ma’ruf nahi mungkar. Ide dasar gerakan IMM adalah; Pertama, Vision, yakni membangun tradisi intelektual dan wacana pemikiran melalui intelectual enlightement (pencerahan intelektual) dan intelectual enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang digunakan IMM ialah melalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah.

Kedua, Value, ialah usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai moral agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari Al Qur’an. Ketiga, Courage atau keberanian dalam melakukan aktualisasi program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan keberpihakan ikatan dalam pemberdayaan umat[8].



4. Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO)

Kebijakan pemerintah memberlakukan asas tunggal Pancasila sebagai satu-satunya dasar ormas mendapat tantangan yang cukup beragam dari kalangan umat Islam. Himpunan Mahasiswa Islam Majelis Penyelamat Organisasi (HMI MPO) sebagai organisasi pecahan/faksi dari HMI yang disebutkan sebelumnya, terlahir akibat konflik berkepanjangan dalam menyikapi penerimaan asas tunggal tersebut. PB (Pengurus Besar) HMI melalui jumpa pers pada 10 April 1985 di Yogyakarta mengumumkan tentang penerimaan asas Pancasila oleh HMI. Sikap ini dinilai sebagian cabang seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung, Ujungpandang, Purwokerto sebagai kesalahan besar PB HMI karena tidak melalui forum kongres. Konflik tersebut berujung pada munculnya perlawanan dari cabang-cabang yang kemudian melahirkan HMI MPO pada 15 Maret 1986 di Jakarta, sebagaimana tercantum dalam buku Berkas Putih yang terbit 10 Agustus 1986[9].

Setelah beberapa tahun HMI MPO lebih banyak melakukan aktifitas gerakannya secara sembunyi-sembunyi, pada tahun 1990-an ketika pemerintah mulai menjalin hubungan baik dengan Islam, HMI MPO mulai nampak kembali kepermukaan. Di beberapa daerah yang merupakan basis HMI MPO seperti Yogyakarta, Bandung, Ujungpandang dan Purwokerto kader-kader mereka cenderung radikal dan lebih militan. Pada kenyataannya represi negara justeru membuat HMI MPO menjadi lebih matang dan kuat.

HMI MPO sendiri sedikit mengalami pergeseran, jika pada awalnya gerakan mereka cenderung fundamentalis dan eksklusif. Pada akhirnya mereka mulai terbuka dengan memperluas cakrawala pengetahuan sehingga mampu menyesuaikan diri dengan perubahan. Tidak heran jika banyak yang menilai HMI MPO sebagai organisasi Islam yang lebih modernis saat ini.

5. Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI)

KAMMI terbentuk dalam rangkaian acara FS LDK (Forum Sillaturahmi Lembaga Da’wah Kampus) Nasional X di Universitas Muhammadiyah Malang tanggal 25-29 Maret 1998. Setidaknya ada dua alasan terbentuknya KAMMI, pertama, sebagai ekspresi keprihatian mendalam dan tanggung jawab moral atas krisis dan penderitaan rakyat yang melanda Indonesia serta itikad baik untuk berperan aktif dalam proses perubahan. Kedua, untuk membangun kekuatan yang dapat berfungsi sebagai peace power untuk melakukan tekanan moral kepada pemerintah.[10]

Selanjutnya bersama elemen gerakan mahasiswa lainnya, KAMMI melakukan tekanan terhadap pemerintahan Orde Baru melalui gerakan massa. Dalam pandangan KAMMI, krisis yang terjadi saat itu adalah menjadi tanggung jawab pemimpin dan pemerintah Indonesia sebagai pengemban amanah rakyat. Karena itu untuk memulai proses perubahan tersebut mesti diawali dengan adanya pergantian kekuasaan. Rezim Orde Baru dengan segala macam kebobrokannya, harus diganti dengan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

Setelah tidak kuat menahan desakan rakyat, akhirnya Soeharto dengan terpaksa meletakkan jabatannya. Namun bagi KAMMI, proses reformasi di Indonesia belumlah selesai, masih membutuhkan proses yang panjang. Lewat Muktamar Nasional KAMMI yang pertama, 1-4 Oktober 1998, KAMMI memutuskan diri berubah dari organ gerakan menjadi ormas mahasiswa Islam. Peran utamanya adalah untuk menjadi pelopor, pemercepat dan perekat gerakan pro-reformasi.


Mahasiswa Islam dalam Pergulatan Teologis

Sejak awal berdirinya, sebagian ormas mahasiswa Islam ada yang terlahir dari kelompok sosial keagamaan dengan identitas yang jelas. Misalnya saja IMM yang terang-terangan mengusung nama Muhammadiyah, dan PMII meski secara struktural independen, namun masih memiliki ikatan kultural yang erat dengan NU. Sedangkan ormas mahasiswa Islam yang lain, HMI Dipo, HMI MPO dan KAMMI, tidak secara jelas membawa identitas kelompok keagamaan tertentu, malah mereka cenderung menjadi kelompok keagamaan tersendiri. Dari sini kemudian berkembanglah corak wacana dan strategi perjuangan yang berbeda-beda. Perbedaan ini muncul akibat beragamnya metode pendekatan teologis, sebagai basis ideologi yang mereka bangun.

Kebebasan berpikir yang telah menjadi kultur sehari-hari di dunia akademis, telah mengundang sebagian besar mahasiswa Islam untuk merumuskan kembali paradigma teologi yang telah ada. Hampir semua sepakat bahwa paradigma teologi umat Islam saat ini merupakan hasil formulasi ulama klasik. Meski mengalami pembaharuan beberapa kali, tapi tidak banyak perubahan mendasar dalam paradigma teologi itu. Terlebih lagi tuntutan perubahan mengharuskan umat Islam menyusun kembali paradigma yang baru.

Pemikiran teologi dalam masyarakat Islam bersumber dari ajaran aqidah yang dijelaskan dalam Al Qur’an dengan inti kepercayaan pengesaan Tuhan (tauhid) dan pengakuan atas kerasulan Muhammmad (Muhammad Rasulullah). Pemikiran teologi tentang Allah merupakan sebuah keyakinan terhadap adanya realitas transedental yang tunggal dan menuntut adanya aplikasi ketaatan pada tataran aksi. Oleh karenanya wujud nyata dari perilaku dan kepribadian umat Islam merupakan cerminan yang tidak dapat dipisahkan dari landasan teologisnya.

Dalam melakukan telaah keagamaan, mahasiswa Islam mengadopsi beberapa pemikir-pemikir Islam kontemporer, baik tokoh pemikiran Islam di Indonesia seperti Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat dan lainnya, sampai tokoh dunia Islam yang cukup berpengaruh saat ini, diantaranya Hassan Hanafi, Mohammad Arkoun, Yusuf Qardlawi, M. Abed Aljabiri, Fazlur Rahman dan masih banyak lagi. Ketajaman analisis dan disiplin dalam mempergunakan metode, membuat para tokoh tersebut dikagumi banyak kalangan mahasiswa Islam. Sampai kemudian pemikiran mereka menjadi referensi utama bagi gerakan mahasiswa Islam, bahkan tidak jarang dikritisi dan dianalisis secara mendalam.

Di Indonesia sendiri, Fachry Ali dan Bahtiar Effendy[11] menyatakan tentang tipologi gerakan intelektualisme Islam neo-modernisme. Gerakan pemikiran neo-modernisme merupakan gerakan pemikiran Islam yang muncul di Indonesia sekitar tahun 1970-an. Gerakan ini lahir dari tradisi modernisme Islam yang terdahulu dan telah cukup mapan di Indonesia. Akan tetapi ia memakai pendekatan yang lebih khas dari sisi konsepsi maupun aplikasi ide-ide.

Nurcholish Madjid merupakan tokoh gerakan intelektual ini. Dengan cerdas ia memadukan cita-cita liberal dan progresif dengan keimanan yang saleh. Melalui konsep rasionalitas, Cak Nur, sapaan akrabnya, menyatakan arti pentingnya untuk menelusuri dan memahami pengetahuan manusia yang relatif dan terbatas. Hal ini menyangkut persoalan hubungan kedudukan antara agama dan akal yang telah lama menjadi bahan perdebatan para teolog sejak dulu. Karena pengetahuan manusia yang terbatas itulah maka kebenaran yang bersifat mutlak tidak dapat dicapai oleh manusia.

Selanjutnya Cak Nur menawarkan satu bentuk teologi inklusif, dimana inti ketajaman teologi ini adalah kesadaran teologis yang mensyaratkan adanya ruang kebebasan berpikir sebagai wujud komitmen ketauhidan seseorang. Ruang kebebasan inilah yang menjadi substansi bagi pembaharuan dan kemajuan dalam Islam. Sikap keterbukaan untuk mau menerima kebenaran dan perbedaan dari orang lain.

HMI Dipo telah menjadikan pemikiran neo-modernisme ini sebagai referensi utama bagi pemahaman teologinya. Lewat pemikiran-pemikiran Cak Nur yang juga mantan ketua PB HMI inilah konsep Islam Keindonesiaan ditawarkan oleh kader-kader HMI.

Lain halnya dengan PMII, ormas mahasiswa Islam ini lebih mengembangkan teologi yang lebih radikal bila dipandang oleh sebagian besar umat Islam pada umumnya. Pada mulanya PMII memakai doktrin teologi Aswaja (ahlussunnah wal jama’ah) sebagi doktrin resmi yang dipakai NU dan masyarakat Islam Indonesia pada umumnya. Doktrin teologi Aswaja lebih banyak berbicara mengenai takdir manusia yang telah ditentukan Allah, dan kedudukan manusia sebagai makhluk. Namun akhir-akhir ini tradisi kritik yang berkembang di PMII tidak hanya menggugat kemapanan (status quo) struktur sosial, ekonomi dan politik yang ada, tapi termasuk doktrin teologi Aswaja. PMII dengan berani menggulirkan perlunya pembacaan kembali konsep Aswaja tersebut[12].

Dewasa ini terdapat loncatan perubahan yang cukup menyolok dikalangan kader-kader PMII. Sebagai angkatan muda NU, mereka sebagian besar berasal dari kalangan tradisional, kelompok masyarakat yang sering diidentikkan dengan konservatifisme sosial lewat apresiasi yang rendah terhadap hal-hal baru. Mereka juga dikenal dengan keterbelakangan kultural karena orientasi hidup mereka dipercayai hanya sebatas penerapan dan pemeliharaan nilai-nilai lama yang teguh dipegangi dan diyakini. Pandangan ini mulai bergeser ketika PMII kini memiliki pandangan intelektual yang lebih terbuka, peka dan peduli terhadap masalah keagamaan dan kehidupan sosial. Konsekuensi dari keterbukaan ini bagi PMII adalah sikap menerima perbedaan, akomodatif, dan toleran[13].

Tradisi berpikir kritis terhadap segala macam bentuk kemapanan yang ada, telah membawa PMII untuk melakukan kajian terhadap kondisi kehidupan sosial, termasuk kebekuan-kebekuan yang dialami agama. Doktrin-doktrin ajaran agama saat ini, menurut PMII, sudah tidak relevan lagi dengan perubahan jaman. Karena ajaran agama yang ada telah tercerabut dari keaslian akar tradisi masyarakat. Ajaran agama tidak tertanam dalam kesadaran masyarakat. Untuk itu perlu dilakukan tafsir ulang terhadap doktrin-doktrin ajaran agama, bahkan sampai keakar-akarnya yaitu dimensi teologis.

Pada tataran teologis PMII lebih memandang bahwa semua agama akan bermuara pada satu titik yang sama yakni Tuhan. Terdapatnya agama-agama yang berbeda merupakan suatu bentuk keanekaragaman jalan atau cara yang mengandung makna kebenarannya sendiri-sendiri, dan keanekaragaman ini merupakan fitrah yang dikehendaki Tuhan. Yang terpenting bagi agama saat ini adalah harus membawa kemanfaatan nyata bagi kesejahteraan manusia.

Ahmad Baso, salah seorang senior di PB PMII mengungkapkan suatu gagasan mengenai kritik wacana agama. Kritik agama Baso adalah Islam sebagai sistem kultur dan ideologi. Titik perhatiannya diarahkan pada kritik nalar atau cara-cara berpikir yang secara sistemik membentuk pola pikir penganutnya secara sadar maupun tidak sadar. Lebih lanjut Baso mencontohkan kebekuan tradisi pembaharuan dalam pemikiran tokoh-tokohnya, baik itu pada diri Nurcholish Madjid, Dawam Rahardjo, maupun dalam pemikiran Abdurrahman Wahid. Makna “Islam Liberal” dalam pemikiran Nurcholish Madjid, hanya berhenti pada tingkat wacana. Gagasan tersebut tidak bisa diterjemahkan secara praksis dalam kehidupan umat di lapisan bawah.

Berbeda lagi dengan IMM, ormas mahasiswa Islam yang satu ini tidak bisa lepas begitu saja dari pengaruh kultur yang ada di Muhammadiyah. Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan, tentu saja tidak bisa lepas dari agama sebagai landasan teologis dalam berpikir, bertindak dan berinovasi. Aspek teologis ini penting karena dari sinilah Muhammadiyah melancarkan purifikasi agama atau pemurnian tauhid dari segala bentuk praktek keagamaan yang berbau takhayyul, bid’ah dan khurafat. Dengan langkah ini sebenarnya Muhammadiyah ingin melangkah ke arah praksis, yaitu memperbaharui pola pikir umat yang lebih “membumi”, tidak mistis dan metafisis semata[14].

Pada konteks historis, dulu pemahaman teologis semacam ini sangat hidup dan dinamis di Muhammadiyah, sehingga seringkali “gebrakan kultural” yang dilakukan Muhammadiyah cukup mengesankan. Namun saat ini, citra Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan dan Islam modernis telah memberikan “kepuasan” tersendiri yang secara tidak disadari telah “memanjakan” Muhammadiyah dalam kemapanan wacana keagamaannya. Azyumardi Azra[15] mengkritik pemahaman keagamaan Muhammadiyah yang monolistik (salafiyah). Padahal kecenderungan keagamaan masyarakat semakin pluralistik. Menurut Azra, selama ini Ulama Muhammadiyah hanya dialokasikan di tempat periferal dan marginal, yaitu di Majelis Tarjih, yang hanya menekuni dan menjawab persoalan-persoalan teknis hukum Islam (fiqhiyyah) untuk merespons perkembangan modern. Kalaupun ada di kalangan Muhammadiyah yang kritis terhadap pemerintah, itu biasanya muncul dari kalangan santri intelektual. Jarang sekali yang dikenal sebagai Ulama melakukan fungsi kontrol.

Dengan demikian, Muhammadiyah telah mengalami kebekuan dalam mengkontruksi wacana teologinya. Muhammadiyyah terlalu disibukkan dengan aktivitas amal usahanya yang secara tidak langsung mendorong formalisasi agama.

Kondisi semacam ini berimbas pada IMM secara langsung. Krisis wacana yang dialami kader-kader IMM kemudian berakibat pada semakin banyaknya mereka yang menyibukkan diri di amal usaha Muhammadiyah. Meski begitu, tetap saja ada kelompok minoritas kreatif yang tekun melakukan rekontruksi wacana teologi serta relevansinya dengan tantangan umat Islam dan Bangsa Indonesia saat ini. Salah satunya adalah Fajar Riza Ul Haq kader muda Ketua Pimpinan Cabang IMM Sukoharjo. Fajar dengan fasih berbicara tentang kelemahan teologi inklusifnya Nurcholish Madjid yang berhenti pada tataran wacana tidak membumi dalam bentuk praksis pembebasan. Mengutip Farid Esack, tokoh Islam Afrika Selatan, Fajar[16] menyatakan perlunya menggeser teologi inklusif kearah teologi pluralis yang liberatif terhadap kaum tertindas. Bangunan epistimologi teologi pluralis adalah meyakini setiap agama mempunyai jalan keselamatan sendiri-sendiri, jadi menghargai pluralitas teologi agama-agama. Sayangnya wacana ini belum berkembang di sebagian besar pemikir-pemikir Muhammadiyah.

Sedangkan di HMI MPO, sebagaimana telah sedikit disinggung di awal, ormas mahasiswa Islam ini mengalami pergeseran cukup drastis. Semula gerakan HMI MPO bersifat eksklusif, konsisten dengan keislamannya, maka semua aktivitasnya harus diukur dengan parameter Islam. Namun akhir-akhir ini HMI MPO cenderung terbuka dan menyerahkan pemahaman teologis terhadap pluralitas anggotanya.

Dari penjelasan tersebut, terlihat tidak adanya keseragaman pemahanan teologis di HMI MPO. Tidak aneh jika ekspresi keagamaan dari masing-masing kader nampak berbeda. Ada kader yang sangat kental dengan nuansa religiusnya, tidak sedikit pula kader yang tampil lebih moderat, bahkan cenderung ‘liar’ dan semaunya sendiri. Pemandangan semacam ini mudah dijumpai pada kader-kader HMI MPO.

KAMMI yang dilahirkan oleh para aktivis Lembaga Dakwah Kampus memiliki corak pergerakan yang khas. Jaringan mereka sangat luas dan telah ada hampir diseluruh Perguruan Tinggi di Indonesia. Tidak mengherankan jika pada usia yang masih muda KAMMI di puji banyak kalangan sebagai ormas mahasiswa Islam tersolid saat ini. Kehadiran massa dalam jumlah besar di setiap aksinya, memperkuat daya tekan KAMMI dalam mendukung gerakan reformasi.

Pada tataran teologis KAMMI memiliki doktrin pemahaman yang cukup kuat bahwa Islam sebagai suatu sistem yang total (kaffah) merupakan solusi terbaik dalam menjawab tantangan kemanusian. Bagi KAMMI, Islam tidak hanya berbicara mengenai pribadi individu, tapi Islam juga mengatur juga tentang hubungan sosial. Karena itu kemenangan Islam dalam keyakinan KAMMI adalah suatu keniscayaan.[17]

Tradisi pendekatan wacana yang berkembang di KAMMI adalah upaya pencarian keabsahannya gerakannya melalui teks-teks suci. Hampir di setiap kali muncul wacana pemikiran KAMMI akan selalu diikuti sumber pembenarannya dari teks Al Qur’an dan Hadits. Pembacaan terhadap teks-teks suci tersebut telah memberikan semangat juang (ghiroh) tersendiri bagi KAMMI. Pada akhirnya, kontekstualisasi teks dengan realitas sosial sekarang mendorong KAMMI berkiprah lebih banyak di bidang pelayanan sosial, pendidikan politik, dan advokasi umat.

Ekspresi Politik Gerakan Mahasiswa Islam

Untuk mengetahui ekspresi atau sikap gerakan mahasiswa Islam terhadap kondisi sosial politik yang berlangsung, tidak bisa dilepaskan dari tesis Clifford Geertz tentang politik aliran. Aliran menurut Clifford Geertz[18] ditandai oleh beberapa ciri. Pertama, aliran adalah suatu gerakan sosial yang kemudian mengalami kristalisasi menjadi pengelompokan politik. Kedua, walaupun suatu aliran didefinisikan secara ideologis, namun biasanya ia dijiwai oleh cita-cita moral yang lebih luas. Ketiga, walaupun mengalami kristalisasi menjadi suatu pengelompokan politik, sebuah aliran biasanya dikelilingi oleh sebuah organisasi sukarela yang terikat secara resmi maupun tidak resmi dengan pengelompokan politik yang menjadi pusatnya.
Tipologi Geertz ini kemudian dikembangkan oleh Herbeth Feith dan Lance Castle[19] yang membagi pemikiran politik Indonesia waktu itu ke dalam lima golongan: marxisme, Sosialisme Demokrat, Nasionalisme Radikal, Islam (terdiri dari modernisme Islam dan tradisionalisme Islam) dan tradisionalisme Jawa. Tipologi ini kemudian berkembang tidak hanya pada wilayah kultural tetapi juga wilayah politik yaitu mempengaruhi afiliasi pemilih waktu itu.

Menurut Geertz, afiliasi pemilih juga berdasarkan pada pengelompokan budaya ini. Kelompok santri kebanyakan berafiliasi ke NU dan Masyumi, abangan sebagian ke PKI, priyayi lebih banyak berafiliasi ke PNI. Basis aliran ini kemudian berkembang menjadi ideologi politik aliran yaitu Islam, nasionalis, komunis dan sosialis meskipun kelompok terakhir jumlahnya sangat kecil. Pemilu pertama tahun 1955 membuktikan dari sekian banyak partai yang muncul, empat partai besar sebagai pemenang dan semuanya mengambl tipologi Geertz sebagai basis ideologi mereka yaitu nasionalis diwakili PNI, Islam dengan Masyumi dan NU, Komunis dengan PKI dan Sosialis dengan PSI.

Perkembangan pemilu 1999 menunjukkan gejala yang hampir sama meskipun tidak seratus persen. Bahkan ada kecenderungan pada sebagian partai untuk menghidupkan fenomena politik tahun 1955. Ada sisi menarik dari dalam hal afiliasi politik yang sifatnya cenderung ideologis. Suara NU dan PNI tidak mungkin beralih ke partai- partai yang identik dengan Masyumi (PBB, PK atau PAN) sementara suara Masyumi juga tidak beralih ke partai-partai yang identik dengan NU, PNI atau PKI (PDI P, PKB dan PRD). Kecenderungan ideologis ini tidak lepas dari tubuh Islam yang terbagi dalam dua kutub: modernis dan tradisionalis. NU mewakili tradisionalis dan Masyumi mewakili kutub modernis.

Dua bentuk pemikiran ini selalu berbenturan dalam hampir semua hal termasuk dalam bidang syariah. Kutub tradisionalis mengental dalam organisasi Nahdlotul Ulama, sementara Kutub modernis diwakili organisasi Muhammadiyah. Muhammadiyah sendiri merupakan organisasi reformis yang kehadirannya dimaksudkan untuk menjernihkan keyakinan umat Islam dari berbagai bentuk takhyul, bid’ah dan khufarat. Bagi Muhammadiyah, keyakinan umat telah banyak terkontaminasi dngan masuknya praktik peribadatan yang berbau Hindhu-Budha-Jawa. Sementara kelahiran NU salah satu latar belakangnya adalah untuk menyelamatkan tradisi. Dalam hal ini, NU merasa keyakinannya dalam menjalankan ibadah terusik dengan hadirnya Muhammadiyah. Dari sinilah muncul berbagai ketegangan dan bahkan konflik yang sampai sekarang ada.

Kondisi gerakan mahasiswa Islam saat ini juga terjebak dalam polarisasi dan fragmentasi yang tidak jauh berbeda dengan politik aliran Geertz, meski dalam beberapa hal mengalami beberapa metamorfose. Organisasi massa mahasiswa Islam lahir dengan dipayungi kelompok politik yang dominan waktu itu, atau sebagai underbow partai. PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) lahir dari generasi muda NU (Nahdlatul Ulama), HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) lahir dibidani kelompok Islam modernis Masyumi. Selanjutnya, IMM (Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) yang jelas berasal dari Muhammadiyah. Sementara, keberadaan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia) pada praktik politik selanjutnya juga tidak bisa dilepaskan dari PK (Partai Keadilan).

Pada tahap selanjutnya, polarisasi lebih tajam terlihat pada kalangan Islam modernis yang diwakili HMI Dipo, HMI MPO, IMM dan KAMMI dengan kalangan Islam tradisionalis yang diwakili PMII. Hal ini dapat dicermati lebih rinci terutama pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Beberapa waktu menjelang lengsernya Gus Dur dan pada awal-awal pemerintahan Megawati, terdapat friksi antar ormas Islam yang lebih disebabkan karena alasan ideologis. Memang berkembang berbagai rumor di seputar pro dan kontra turunnya Gus Dur, seperti permasalahan kesehatan Gus Dur, kapabilitas managerial ataupun konstitusi. Namun apabila ditelisik mendalam, turunnya Gus Dur semata terjadi karena konflik ideologis yang sekian lama terpendam.

Meskipun naiknya Gus Dur dengan bantuan poros tengah yang terdiri dari PPP, PAN, PBB, PK, namun aspirasi dan kepentingan kelompok poros tengah relatif diabaikan. Apabila ditelurusi, tentu saja hal ini bukan hal yang baru. NU atau dalam hal ini PKB jelas tidak mungkin berafiliasi dengan kelompok modernis terutama poros tengah. NU lebih mudah bergandengan tangan dengan kalangan abangan seperti dengan PDI P.

Fenomena yang sama juga terjadi pada ormas mahasiswa Islam. PMII lebih mudah bekerja sama dengan kelompok kiri dibandingkan dengan ormas Islam lainnya. Hal seperti ini sering terjadi seperti pada waktu pro kontra penurunan Gus Dur. PMII bekerja sama dengan ormas kiri seperti PRD, PMKRI untuk mendukung atau pro Gus Dur tetap menjadi presiden. Sementara, kelompok yang kontra Gus Dur seperti HMI Dipo, HMI MPO, IMM, dan KAMMI secara serentak, bersama menuntut Gus Dur mundur. Hal senada juga diungkapkan oleh kelompok modernis yang lain seperti HMI Dipo, HMI MPO, dan IMM.

Pada dasarnya mereka sama-sama memiliki keyakinan bahwa kapasitas dan kapabilitas Megawati diragukan. Sedangkan alasan lainnya adalah asumsi yang selama ini terbukti bahwa kekuasaan itu cenderung korup, sebagaimana adagium Lord Acton. Sebagai organisasi yang independen, ormas Islam modernis lebih menitikberatkan perjuangannya pada kepentingan rakyat karena selama ini rakyat selalu berada dalam posisi yang tertindas padahal dalam konteks demokrasi, mereka adalah pemegang kekuasaan tertinggi.
--------------------------------------------------------------------------------

[1] Jorge Lorrain, Konsep Ideologi, 1996, hlm 10.
[2] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, 1991, hlm 230.
[3] Gagasan-gagasan Gramsci direkam dengan baik oleh Roger Simon, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, 1999, hlm 83.
[4] Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, 1992, hlm 232.
[5] Arbi sanit dalam Karim, M Rusli, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, 1997, hlm 95. Lihat juga Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik, 1999.
[6] Andi Rahmat dan Muhammad Najib, Perlawanan dari Masjid Kampus, 2001, hlm 188.
[7] Nurul Huda, PMII Kader Minoritas Progresif. Suara Merdeka, 31/06/2001.
[8] Anonim, Agenda Ikatan, DPD IMM Jawa Tengah, 1999.
[9] M Rusli, Karim, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, 1997, hlm 131.
[10] Andi Rahmat dan Muhammad Najib, Perlawanan dari Masjid Kampus, 2001, hlm 70-71.
[11] Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, 1986. Merambah Jalan Baru Islam: Perkembangan Pemikiran Islam Masa Orde Baru. Bandung: Mizan.
[12] Nurul Huda, PMII Kader Minoritas Progresif, Suara Merdeka, 31/06/2001.
[13] Hairus Salim HS dan Muhammad Ridwan, Kultur Hibrida : Anak Muda NU di Jalur Kultural, 1999, hlm 2.
[14] Bahrus Surur, Teologi Amal Saleh: Membongkar Logika Sosial Pada Nalar Kalam Muhammadiyah, Jurnal INOVASI, No. 3 Th. X/2001.
[15] Azyumardi Azra, Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih, 2000, hlm 47.
[16] Fajar Riza, Ul Haq, Neo Modernisme Islam Berwawasan Praksis Liberatif (Dari Teologi Inklusif Menuju Teologi Pluralis), Jurnal Shabran, edisi 2 Vol. XV, 2001.
[17] Andi Rahmat dan Muhammad Najib, Perlawanan dari Masjid Kampus, 2001, hlm 189.
[18] Ignas Kleden, Rencana Monografi: Paham Kebudayaan Clifford Geertz, 1988, hlm 49.
[19] Herbert Feith & Lance Castle, Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, 1996.


DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1999. Agenda Ikatan, DPD IMM Jawa Tengah.
Ali, Fachry dan Bahtiar Effendy, 1986. Merambah Jalan Baru Islam: Perkembangan Pemikiran Islam Masa Orde Baru. Bandung: Mizan.
Azra, Azyumardi, 2000. Islam Subtantif: Agar Umat Tidak Jadi Buih. Bandung: Mizan.
Berger, Peter L & Hansfried Kellner, 1985. Sosiologi ditafsirkan Kembali, Essay tentang Metode dan Bidang Kerja. Jakarta: LP3ES.
-------------- & Thomas Luckmann, 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan Risalah Tentang Sosiologi Pengetahuan. Jakarta: LP3ES.
Feith, Herbert & Lance Castle, 1996. Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965. Jakarta: LP3ES.
Huda, Nurul, PMII Kader Minoritas Progresif. Suara Merdeka, 31/06/2001
Kleden, Ignas, 1988. Rencana Monografi: Paham Kebudayaan Clifford Geertz. Jakarta: LP3ES.
Karim, M Rusli, 1997, HMI MPO dalam Kemelut Modernisasi Politik di Indonesia, Bandung: Mizan.
-------------, 1999. Negara dan Peminggiran Islam Politik: Suatu Kajian Mengenai Implikasi Kebijaksanaan Pembangunan Bagi Keberadaan Islam Politik di Indonesia era 1970-an dan 1980-an. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Larrain, Jorge, 1996. Konsep Ideologi. Yogyakarta: LKPSM.
Latif, Yudi, 1999. Masa Lalu Yang Membunuh Masa Depan. Bandung: Mizan.
Mannheim, Karl, 1993. Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik. Yogyakarta: Kanisius.
Nuswantoro, 2001. Daniel Bell, Matinya Ideologi. Magelang: Indonesia Tera.
Rahmat, Andi dan Muhammad Najib, 2001. Perlawanan dari Masjid Kampus. Surakarta: Purimedia.
Salim HS, Hairus, dan Muhammad Ridwan, 1999. Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural. Yogyakarta: LKiS.
Sanit. Arbi, 1999. Pergolakan Melawan Kekuasaan Gerakan Mahasiswa Antara Aksi Moral dan Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Simon, Roger, 1999, Gagasan-gagasan Politik Gramsci, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Suseno, Franz Magnis, 1992, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, Yogyakarta: Kanisius.
Surur, Bahrus, 2001, Teologi Amal Saleh: Membongkar Logika Sosial Pada Nalar Kalam Muhammadiyah, Jurnal INOVASI, No. 3 Th. X/2001.
Ul Haq, Fajar Riza, 2001, Neo Modernisme Islam Berwawasan Praksis Liberatif (Dari Teologi Inklusif Menuju Teologi Pluralis), Jurnal Shabran, edisi 2 Vol. XV, 2001



read more “Melacak Akar Ideologi Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia”

TEORI DASAR NEGARA (TDN)

Posted by azzam Label:



Masalah asal-mula negara adalah salah satu persoalan ilmu politik yang sulit. Kesulitan masalah ini terutama disebabkan oleh genetika negara atau saat-saat negara yang pertama dibentuk, belum terdapat bukti-bukti yang meyakinkan. Karena tidak ada bukti-bukti, teori-teori asal mula negara bercorak spekulatif dan abstrak.
Teori-teori asal mula negara dapat dimasukkan ke dalam dua golongan besar, yakni teori yang spekulatif dan teori yang historis. Teori-teori yang spekulatif di antaranya tentang teori kontrak sosial, teori organis, teori kekuatan dan teori-teori yang bersifat idealistis. Sedangkan teori-teori historis pada umunya mencapai persesuaian paham mengenai pertumbuhan evolusionistis dari negara.

§         Teori Kontrak sosial

Teori kontrak sosial atau perjanjian masyarakat beranggapan bahwa negara dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat. Tokoh yang menggunakan istilah “kontrak sosial” pertama kali adalah bapak revolusi Prancis, Jean Jacques Rousseau, tokoh peletak dasar paham kedaulatan rakyat atau jenis negara yang demokratis, yakni rakyat berdaulat dan penguasa-penguasa negara hanya merupakan wakil-wakil rakyat. Ia juga memisahkan suasana kehidupan manusia dalam dua zaman, zaman pra-negara dan zaman bernegara.
Dengan ketentuan-ketentuan perjanjian masyarakat seperti itu berlangsunglah peralihan dari keadaan alamiah ke keadaan bernegara. Dengan konstruksi perjanjian masyarakat itu, Rousseau menghasilkan bentuk negara yang kedaulatanya berada dalam tangan rakyat melalui tangan umum.
  • Teori Organis
Esensi teori organis dapat disimpulkan bahwa negara dianggap atau dipersamakan dengan makhluk hidup. Kehidupan raja (Presiden) sebagai kepala, para individu sebagai daging makhluk hidup, undang-undang sebagai urat syaraf. Fisiologi negara sama dengan fisiologi makhluk hidup, mulai dari kelahiran, pertumbuhan, dan kematiannya. Doktrin organis dari segi isinya dapat digolongkan ke dalam beberapa teori. Pertama Organisme Moral yang bersifat metafisis-idealistis (Fichte, Schelling dan Hegel),
Kedua, Organisme Psikis sebagai bentuk peralihan dari organisme moral ke teori organisme yang bersifat bio-psikologis. Ketiga, Organisme Biologis yang menyelidiki asal-mula negara seperti menyelidiki kelahiran, struktur dan fungsi-fungsi organisme biologis,  dan Keempat Organisme Sosial yang mengatakan bahwa asal-mula negara  berhubung dengan timbulnya ilmu baru tentang masyarakat.

§         Teori Kekuatan

Teori kekuatan dapat disimpulkan sebagai berikut : Negara yang pertama adalah hasil dominasi dari kelompok yang kuat terhadap kelompok yang lemah. Negara terbetuk dengan penaklukan dan pendudukan dan yang menang adalah pembentuk negara itu. Dari teori kekuatan ini pula “kekuatan membuat hukum (Might Makes Right). Kekuatan adalah pembenar atau Raison D’etre-nya negara.

§         Teori Idealistis

Teori ini bersifat idealistis karena merupakan pemikiran tentang bagaimana negara itu “Seharusnya ada”, “negara sebagai ide”. Sebagai Bapak dari teori idealistis adalah Imanuel Kant sebagaimana telah dikembangkan oleh para filosof politik yang memandang negara sebagai kesatuan yang mistis, yang bersfat supranatural. Negara memiliki hakikat-hakikat tersendiri yang terlepas dari komponen-komponennya. Ia bukan ciptaan mekanistis, tetapi satu kesatuan ideal yang melambangkan manusia dalam bentuknya yang megah dan sempurna.
§         Teori Historis
Teori ini mengatakan bahwa lembaga-lembaga sosial tidak dibuat, tetapi tumbuh secara evolusioner sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan manusia, maka lembaga-lembaga itu tidak luput dari pengaruh tempat, waktu dan tuntutan zaman. Teori inilah yang umum diterima oleh sarjana-sarjana ilmu politik sebagai teori yang paling mendekati kebenaran tentang asal-usul negara. 
Selanjutnya sebagai pelengkap, perlu kiranya kita mengetahui perspektif lain tentang negara yang diutarakan oleh Arif Budiman. Dia membagi negara berdasarkan fungsinya ke dalam tiga kategori, yaitu :
  1. Negara Organik
Negara memiliki kehendak universal yang hendak diwujudkan. Pada masa sebelum abad pertengahan, Negara berfungsi mendidik moralitas warganya yang bersifat duniawi (Plato, Aristoteles). Pada masa abad pertengahan, negara berkolaborasi dengan gereja berfungsi untuk mengejawantahkan nilai-nilai Ketuhanan atau ukhkrawi (Aquinas, Luther). Pada masa pencerahan terjadi deskralisasi terhadap negara.
  1. Negara Pluralis
Negara hanya memiliki fungsi untuk menjaga stabilitas ketertiban umum. Hal ini disebabkan karena manusia memiliki kepentingan individu-individu yang saling bertabrakan, sehingga negara menjadi medan makna politik, ini akan menimbulkan kontrak sosial.
  1. Negara Instrumentalis
Disini negara hanya menjadi  lahan dominasi ekonomi politik oleh kelas tertentu. Sehingga rakyat terpecah belah dalam dua kelas besar yang saling bertentangan dan terus melakukan perebutan kekuasaan, kelas dominan dan kelas resesif.
Jadi, sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa negara adalah suatu daerah teritorial yang rakyatnya diperintah (Governed) oleh sejumlah pejabat dan yang berhasil menuntut dari warga negaranya ketaatan pada peraturan melalui penguasaan (kontrol) monopolistis dari kekuasaan yang sah.

read more “TEORI DASAR NEGARA (TDN)”

Study Ideologi Dasar (SID)

Posted by azzam Label:

Dalam  sejarahnya tidak jarang peradaban manusia harus mengorbankan ribuan bahkan jutaan nyawa demi perjuangan membela sebuah ideologi, apalagi kalau ideologi sudah masuk pada ranah kekuasaan. Demi sebuah ideologi, 600.000 orang tewas karena terlibat (atau tertuduh) sebagai PKI dalam aksi “balas dendam” yang legal pasca tragedi 30 September 1965 di Indonesia.  Kemunculan tiga arus besar ideologi dunia (baca: kapitalisme, sosialisme-komunisme, dan fasisme) serta perkembangan dahsyat gerakan sosial dan ilmu pengetahuan yang diikuti oleh munculnya teori-teori baru beserta prediksi-prediksi ilmiah mau tidak mau menyeret wacana ideologi dalam perbincangan hangat di kalangan kaum intelektual. Tapi menjadi agak mustahil membincangkan ideologi dalam kerangka konseptualnya tanpa memahami lebih dahulu bagaimana sejarah yang telah menyusunya. Dengan pelan-pelan meski sangat sederhana, mari kita membuka catatan-catatan sejarah itu.

A. Kapitalisme

Awal munculnya kapitalisme yang fenomena historisnya ditemukan oleh Karl Marx kemudian menjadi sebuah sistem dunia, dapat dilacak dari terjadinya transisi historis zaman feudal, tepatnya pada akhir abad XIV awal abad XV, ketika orang-orang Eropa berhasil mengatasi hambatan geografis. Solusi dari  hambatan geografis di atas berawal dari ditemukannya kompas sebagai penunjuk arah dan berkembangnya pengetahuan kelautan. kolaborasi dari dua penemuan baru tersebut membuat watak ekspansionis bangsa Eropa menemukan momentum dan ruang geraknya. Sejak saat itulah penaklukan dunia yang fenomena historisnya berbentuk imperialisme-kolonialisme di berbagai belahan dunia oleh bangsa Eropa dimulai. Bangsa Eropa datang ke beberapa benua  diantaranya benua Amerika, Afrika, Asia sebagai penakluk untuk mengeruk kekayaan alamnya, memperbudak penduduk asalnya sekaligus mengumumkan pengukuhan dirinya sebagai ras yang paling unggul dari ras dan bangsa-bangsa lain. Ajarannya adalah manusia yang beradab adalah orang-orang kulit putih dari Eropa, sedangkan di luar orang-orang berkulit putih Eropa adalah manusia-manusia barbar yang biadab.
 Sejak saat itu pula hierarki-dikotomis kebudayaan mulai ditancapkan dalam benak setiap penduduk bumi. Bahwa hanya peradaban orang kulit putihlah yang paling unggul dan harus ditiru, yang di kemudian waktu klaim ini menjadi motivasi tersendiri bagi mereka untuk melakukan praktek imperialisme-kolonialisme, tidak hanya terbatas dalam ruang ekonomi-politik, akan tetapi lebih jauh dari itu adalah penjajahan cultur dan kebudayaan masyarakat terjajah untuk diseragamkan dengan budaya orang kulit putih. Atas dasar itulah, tidak salah kalau dikatakan bahwa munculnya kapitalisme sebagai suatu sistem dunia pararel atau beriringan dengan dimulainya praktek imperialisme-kolonialisme jagad raya. Dan dari imperialisme-kolonialisme inilah akumulasi modal mulai terkonsentrasi di berbagai belahan wilayah Eropa, terutama di Inggris.      
Dudly Dillard, secara kronologis membagi sejarah muncul dan perkembangan kapitalisme untuk lebih memudahkan kita dalam mempelajari sejarah lahir dan evolusi kapitalisme – terutama kapitalisme industrial – menjadi tiga fase perkembangan, yakni fase awal ( 1500-1750), fase klasik ( 1750-1914) dan fase lanjut (1914-1945). Memang harus diakui bahwa tidak ada kesepakatan para ahli mengenai definisi kapitalisme, akan tetapi mereka umumnya sepakat bahwa kapitalisme adalah satu sistem ekonomi yang berlandaskan pada filsafat individualisme-liberalisme yang memiliki implikasi kebebasan manusia untuk mengekploitasi apapun yang dapat menguntungkan individu tersebut.
Fase Pertama, Kapitalisme Awal atau kapitalisme merkantilis (1500-1750), yaitu kapitalisme yang bertumpu pada industri sandang di Inggris. Kapitalisme pada masa ini masih sangat sederhana. yaitu ditandai dengan praktek pemintalan benang dengan mengunakan masinal sederhana. sementara kebutuhan produksi disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Pada abad XVI industri sandang di beberapa pedesaan di Inggris mengalami perkembangan produksi yang sangat pesat. Pemasukan keuangan negara yang pada awalnya hanya berasal dari pajak rakyat mulai bertambah dengan pendayagunaan surplus sosial (semacam tabungan sosial dari beberapa pabrik sandang). Dari pemakaian sistem inilah, kapitalisme semakin menempati posisi yang aman dari kontestasinya dengan sistem ekonomi sebelumnya. Kalau pada sistem ekonomi yang diterapkan sebelum sistem kapitalisme, dana surplus sosial selalu digunakan untuk membuat tanda-tanda kejayaan suatu masa dengan membangun piramida-piramida atau katedral-katedral, maka ketika sistem kapitalis ini dipakai, dana yang awalnya dipakai untuk  hal-hal di atas dialihkan untuk membuat infra-struktur dan supra-struktur ekonomi baru seperti membangun usaha perkapalan, pergudangan, persiapan dan penyediaan bahan-bahan mentah, dan berbagai bentuk penanaman modal lainnya. Dengan demikian, surplus sosial yang pada awalnya selalu habis bahkan defisit, berubah menjadi perluasan kapasitas produksi.
Ada sekian banyak momentum penting yang membuka peluang perkembangan kapitalisme menjadi semakin tak terbendung. Mulusnya perkembangan kapitalisme di atas tidak bisa dilepaskan dari beberapa momentum-momentum penting yang menjadikan perkembanagn kapitalisme berjalan mulus antara lain, Pertama, munculnya gerakan perlawanan (protestanisme) dari kaum calvinis yang dipimpin oleh Marlin Luther King terhadap hegemoni doktrin gereja Katholik mengenai kehidupan  duniawi. Kedua, penemuan logam-logam mulia dari dunia baru (koloni) untuk kemudian dipakai sebagai alat transaksi yang distandarisasi. Dan ketiga adalah kuatnya back up dari kekuasaan saat itu. Dari sinilah kemudian, perkembangan kapitalisme seakan tidak mengalami hambatan yang berarti.
Fase kedua, Kapitalisme Klasik (1750-1914). Fase ini ditandai dengan bergesernya sistem pembangunan kapitalisme dari sistem perdagangan (merkantilisme) ke sistem industri, tepatnya ketika terjadi revolusi industri di Inggris yang kemudian menjadikan masa ini sebagai masa transisi dari dominasi modal perdagangan ke dominasi modal industri. Perubahan sistem ini dilatarbelakangi oleh perkembangan baru dalam keilmuan manajemen-organisasi dan penemuan-penemuan baru dalam bidang teknologi. Dengan latar belakang diatas, laju kapitalisme semakin tidak terbendung karena sistem produksi yang pada masa kapitalisme awal hanya ditopang oleh infra-struktur dan supra-struktur yang sederhana, maka pada fase ini sudah mulai memakai sistem modern dengan didukung oleh industri yang berbasis tekhnologi maju. Dalam bidang pemikiran, pada saat yang sama muncul seorang ekonom Inggris, Adam Smith dengan karyanya Inquiry into the nature and causes of the wealth nations (1776). Dalam buku tersebut, Adam Smith menawarkan satu sistem ekonomi yang akan membawa kesejahteraan masyarakat eropa saat itu yakni sistem ekonomi liberal. Doktrin utama dari sistem ini adalah menyerahkan semua keputusan-keputusan ekonomi kepada pasar dengan membongkar atau bahkan menghilangkan peran negara sedikitpun. Kebijakan ini mulai dijalankan setelah revolusi Prancis dan perang Napoleon sebagai masa hancur-totalnya sisa-sisa sistem feodal. Turunan dari doktrin di atas termanifestasikan dalam kebijakan-kebijakan, perdagangan bebas, standarisasi keuangan yang kuat (dengan emas), pembuatan anggaran belanja yang seimbang, penghapusan subsidi sosial dll. Singkatnya, sistem ini memulangkan segala persoalan kepada masing-masing individu dan interaksi yang tidak diatur akan menghasilkan akibat-akibat sosial yang dicita-citakan.
Begitulah kapitalisme liberal terus berjalan sampai mengalami berbagai pertentangan internal (anomali) antar negara kapitalis itu sendiri yang kemudian mengakibatkan meletusnya perang dunia I pada tahun 1914-1918 antara kekuatan negara kapitalis baru (Jerman, Jepang dan perancis) dengan negara bos kapitalis (Inggris). Akibat dari Perang Dunia I tersebut adalah perubahan besar mengenai pembagian koloni-koloni tanah jajahan yang menguntungkan negara yang menang perang.
Fase ketiga, kapitalisme Lanjut (1914-1945) Fase ini ditandai dengan peristiwa bergesernya dominasi modal dari belahan dunia Eropa ke negara adi daya baru Amerika Serikat yang dilatarbelakangi oleh hancurnya sistem ekonomi Eropa akibat perang yang berkepanjangan yang mengakibatkan terjadinya krisis besar-besaran di hampir negara kapitalis Eropa, terutama Inggris yang pada awalnya sebagai negara kapitalis Eropa terkaya. Selain itu, ada tiga momentum besar di dunia internasional saat itu, yakni terjadinya perang dunia pertama, munculnya perlawanan dari dunia terjajah (Asia-Afrika) terhadap praktik imperialisme-kolonialisme yang telah berjalan cukup lama, dan suksesnya revolusi Bolisevik 1917 di Rusia yang menghancurkan sistem feodalisme kaisar Tsar saat itu. Dari ketiga momentum inilah beberapa negara kapitalis Eropa dan Amerika mengalami greet depression atau depresi ekonomi dunia besar-besaran. Dari kejadian itulah dunia mengalami resesi ekonomi, harga-harga saham wall-street jatuh pada harga yang terendah dalam sejarah dan meningkatnya jumlah penganguran secara drastis. Dari peristiwa diatas, negara-negara kapitalis saat itu mulai merubah kebijakan ekonominya dari sistem liberalis yang tidak memberikan ruang jaminan sosial sedikitpun kepada masyarakat pada sistem ekonomi negara kesejahteraan (walfare state).
Sebenarnya perubahan sistem kapitalisme saat itu bukan hanya sekadar memberikan hak-hak rakyat yang selama ini terampas oleh keserakahan kaum kapitalis sebagaimana alasan di atas, akan tetapi lebih mendasar dari itu adalah kapitalisme saat itu ingin menyelamatkan dirinya sekaligus merancang sistem ekonomi kapitalis yang lebih kuat--yang fenomena historisnya kita temukan pada akhir dekade 1970-an atau yang lebih dikenal dengan istilah kapitalisme neo-liberal--dari ancaman fenomena sosial baru (kegandrungan kepada sistem sosialialis) setelah suksesnya revolusi Bolisevik di Rusia. Tawaran paket menarik yang berupa sistem dan jaminan kesejahteraan sosial dari negara-negara kapitalis Eropa dan AS saat itu antara lain program redistribusi kekayaan, penyediaan fasilitas umum, subsidi pendidikan, kesehatan, perumahan dan jaminan perawatan pribadi diluncurkan.
Pada periode inilah dimulai kembalinya peran negara yang tidak hanya sebagai penjamin kesejahteraan pasca perang, akan tetapi lebih dari itu negara dituntut untuk menjadi pemain kunci dalam perekonomian global. Dari doktrin itulah nasionalisasi besar-besaran terhadap aset-aset industri diterapkan. Tawaran sistem baru ini dilounching oleh John Maynard keynes, seorang pemikir ekonomi besar dari inggris. Tepatnya pada dekade 1930-an, Keynes meyakini persoalan resesi ekonomi dunia dapat diselesaikan kalau pemerintah melakukan intervensi terhadap perekonomian untuk menciptakan kondisi full employment sebagai suatu yang secara alamiah tidak dimiliki oleh pasar. Model kebijakan yang seperti inilah kemudian ngetrend dalam sistem ekonomi dunia yang tidak hanya diterapkan oleh negara-negara kapitalis akan tetapi juga negara-negara berkembang yang baru merdeka. Karena negara dipercaya mampu memecahkan kontradiksi pasar dan sebagai aktor yang mampu mewujudkan kebaikan dan kesejahteraan ekonomi. wacana dan praktek sistem walfare state hanya berjalan sampai pada dekade 1970-an akhir dan awal 1980-an ketika kapitalisme internasional mengalami resesi ekonomi dunia untuk kedua kalinya.    
Munculnya aliran Kapitalisme Neo-Liberal atau kanan baru (1979 - sekarang) merupakan tawaran solusi dari sistem walfare state yang mengalami kontradiksi pasar diatas. Adalah Friedrich Van Hayek, seorang profesor di Universitas Chicago sejak 1940-an, yang kemudian dilanjutkan oleh muridnya Milton Friedman di universitas yang sama, menawarkan solusi kembali pada sistem ekonomi neo-klasik. Dari sinilah embrio dari neo liberalisme. Wacana  neo-liberalisme dalam sistem ekonomi kapitalisme pada masa ini menyebar dengan cepat. Keberhasilan mereka mengembangkan gagasan neo-liberalisme dalam sistem ekonomi didukung oleh kuatnya jaringan internasional yang melibatkan berbagai yayasan, institut, pusat penelitian, penerbitan, ilmuwan, penulis, dan ahli ilmu hubungan masyarakat membuat gagasan tersebut cepat menyebar dan menjadi begitu populer sampai menjadi cultural-hegemoni yang kemudian lebih dikenal dengan istilah kanan baru.
Praktek awal kebijakan neo-liberalisme dalam sistem ekonomi internasional terjadi pada tahun 1979, ketika Margareth Thatcher menjadi perdana menteri Inggris. Kebijakan pertama yang diambil Thatcher setelah menduduki posisi PM Inggris adalah penghapusan kewajiban negara untuk memikul tanggungjawab terhadap rakyatnya yang berupa subsidi negara terhadap rakyat dan memangkas secara radikal subsidi-subsidi sosial. Sebagai gantiya pemerintah lebih memntingkan pelayanan terhadap swasta, melakukan pemotongan pajak, menjalankan program privatisasi swastanisasi dan liberalisasi, menghilangkan pengawasan terhadap penyiaran , telekomunikasi, transportasi, dan membabat habis seluruh serikat buruh.
Di Amerika, pada saat yang sama kaum Republiken memenangkan pemilunya yang kemudian menaikkan Ronald Reagan sebagai Presiden AS menggantikan Jimmy Carter. pada saat inilah pengadopsian neo-liberalisme di Amerika sebagai sistem ekonomi mulai diterapkan. Rezim ini sangat meyakini teori trickle down effect yang mengklaim bahwa si kaya mendapatkan insentif seperti membayar pajak murah/rendah, maka mereka akan lebih giat dalam berwiraswasta dan pada gilirannya mereka akan banyak menciptakan pertumbuhan peluang dan lowongan kerja. Sederhanya, jika industri diserahkan ke swasta maka akan lebih efisien dan menekan pengeluaran pemerintah untuk pembayaran tunjangan sosial.
Dengan bekal teori di atas Reagan melakukan deregulasi ekonomi yang telah dirintis oleh Carter tahun 70-an. Kontrol atas harga minyak dicabut, aturan mengenai transportasi kereta api, industri minyak dan gas serta penyiaran diperlonggar.  dengan mengikuti langkah Thatcher, Reagan membatasi kekuatan serikat buruh.  Setelah itu, gelombang neo-liberalisme segera menyebar ke hampir seluruh dunia yang meliputi: Amerika Latin, Asia timur, India, sampai hampir seluruh negara Afrika. Negara yang memulai pertama kali setelah Inggris dan Amerika adalah negara-negara dominion Inggris seperti Australia, Kanada, New Zealand, Chili, Argentina, Brazil, Jerman, Italia, Prancis, hingga Zambia dan Tanzania.
Kuatnya daya dorong kapitalisme ini membuat partai-partai yang pada awalnya memiliki platform politik yang lebih dekat ke kiri secara perlahan beralih ke kanan. Di sinilah dapat disebut pemerintahan Toni Blair dari Inggris, Schroeder dari Jerman, Lionel Jospin dari Prancis yang pada awalnya ketiganya berasal dari partai buruh. Tetapi kebijakannya menganut sistem ekonomi neo-liberal yang kanan. Demikaianlah perjalanan sejarah kapitalisme dari awal sampai akhir.
Kalau kita perhatikan dari awal masa perkembangannya kapitalisme memiliki identifikasi yang khas:
1.      System ekonomi kapitalisme mentasbihkan kebebasan individu untuk melihat alat-alat produksi dan modal, bukan oleh negara atau yang disebut dengan Hak Individu (Individual Ownership).
2.    Ekonomi Pasar (Market Economy) pereknomian pasar berdasar pada prinsip spesialisasi kerja dan hal itu tidak diatur oleh siapapun  kecuali kondisi pasar itu sendiri.
3.    Persaingan (Competition) sebagai konsekuensi logis dari berkembangnya ekonomi pasar
4.    Keuntungan (Profit) prinsip keuntungan.

B. Sosialisme-Komunisme

Pada awalnya, sosialisme dan komunisme mempunyai arti yang sama, tetapi akhirnya komunisme dipakai untuk menyebut aliran sosialis yang lebih radikal. Ada beberapa unsur yang terdapat dalam sosialisme, diantaranya dengan mewujudkan protes dan penolakan terhadap ketimpangan sosial. Dalam jaman Renaissance dan Reformasi muncul protes terhadap ketimpangan dalam kemakmuran, dalam revolusi kaum puritan di abad 17 di Inggris, berbarengan dengan gerakan utama yang berasal dari kaum menengah, tampil sebuah kelompok radikal yang disebut “para penggali” atau para “pemerata sejati” (true leveres). Mereka berjuang untuk mempraktekkan prinsip pemilikan tanah secara komunal dan bukan menyangkut penggunaanya.
Unsur lain yang terdapat dalam sosialisme yaitu, protes terhadap prinsip Cash nexus bahwa uang merupakan ikatan utama antar manusia, tidak terbatas pada tradisi sosial saja.  Sejauh sosialisme mengandung dalam dirinya unsur-unsur tersebut, maka dapat dikatakan bahwa sosialisme sudah setua peradaban barat. Pemikiran Yunani maupun Yahudi-Kristen masing-masing menolak kekayaan sebagai landasan kehidupan yang bahagia.
Tetapi kalau kita melihat sesuatu yang lebih konkrit dalam sejarah, akan ditemukan bahwa sosialisme sebagai gerakan yang efektif dan terorganisir merupakan produk dari revolusi industri (1848) di Inggris. Pada tahun 1820-an dan 1830-an di Inggris dan Prancis muncul teori sosialisme modern, teori yang memusatkan perhatian untuk membebaskan kelas pekerja industri dari belenggu kapitalisme industri, perubahan dalam organisasi sosial yang disebabkan oleh industrialisasi ini mengakibatkan munculnya kesenjangan kelas buruh dan pemodal yang oleh Karl Marx disebut sebagai proletar dan borjuis, dan kondisi-kondisi lainnya sehubungan dengan jam kerja buruh, kesehatan kerusakan lingkungan.
Sosialisme adalah koreksi total terhadap gejala akses negatif yang ditimbulkan oleh pertentangan kelas buruh dengan kelas borjuasi dalam system kapitalisme, dalam skenario yang disusun Marx dan sahabatnya, Friedrich Engels, yang akhirnya menjadi kitab suci bagi penganut sosialis-komunis dunia, Das Capital (1867). Buku ini menjadi inspirasi utama gerakan buruh di seluruh dunia. Di kesempatan itulah kaum buruh akan merebut posisi sebagai pemegang alat produksi.

C. Fasisme

Pasca perang Dunia I (1918) di Italia, sejarah kekuatan Benito Mussolini mula-mula mengenalkan fasisme dengan gerakan revolusionernya, gerakan bersenjata sebagai jalan untuk menuju tampuk kekuasaan, disusul kemudian oleh “saudaranya”, Adolf Hitler muda yang menjadi roh fasisme Jerman. Di tangan keduanyalah fasisme muncul sebagai paham sekaligus gerakan. Fasisme, sebagai ideologi yang dianut sebuah negara, memuat ciri-ciri sebagai gerakan ideologi yang Totaliter, Nasionalis-Rasialis, dan mengidolasi pemimpinnya.
Setiap negara yang fasis adalah negara totaliter, yang berkuasa habis-habisan atas semua gerak hidup masyarakat di dalamnya. Sistem totaliter telah mengatur sedemikian rupa bagaimana rakyat harus sekolah, bekerja, melakukan aktifitas ekonomi, mengeluarkan pendapat bahkan dalam berkeluarga dan punya anak. Semuanya masuk dalam bingkai yang telah ditentukan negara. Sebagaimana orasi yang pernah disampaikan Hitler pada rally-rally kaum Nazi, “Kamu bukanlah apa-apa, negaramu adalah segalanya”.
 Latar belakang historis munculnya fasisme adalah kekalahan Jerman dan Italia pada perang dunia I. Kedua negara mengalami kebangkrutan harga diri dan ekonomi. Jerman setelah menerima kekalahan dalam perang, terutama dalam perjanjian Versailles, secara terpaksa membayar perbaikan-perbaikan untuk kerugian pemenang. Sementara itu dalam waktu yang sama, sebagai akibat perang, Italia harus menanggung hutang sekitar 95 Juta Lira di wilayah ini. Kemudian  Munculnya Hitler dan Mussolini bagaikan air sejuk di siang bolong. Mereka berdua melakukan usaha-usaha untuk meyakinkan rakyat bahwa kejayaan negara kota Troya di Italia ataupun ras Aria di Jerman harus menjadi motivasi untuk bangkit dari keterpurukan ini. Dalam konteks ini, Nasionalisme sarat dengan Rasialisme. Implikasi paling nyata dan mengerikan adalah terbunuhnya 6 juta orang Yahudi dari kamp penampungan dalam kampanye anti semitis yang dikobarkan Hitler.
Baik Hitler maupun Mussolini adalah diktator di negaranya masing-masing. Bukan saja karena mereka punya kharisma dan kualitas kepemimpinan yang luar biasa di mata rakyatnya, tapi juga karena kaum fasis percaya bahwa kediktatoran harus ditempuh jika ingin membentuk negara yang kuat.
read more “Study Ideologi Dasar (SID)”