ANALISIS SOSIAL

Posted by azzam Label:

 Latar Belakang Permasalahan
Proses umum perkembangan intelektual manusia telah mengabarkan bahwa ilmu sosial merupakan disiplin yang paling sering dipakai untuk membantu manusia menyajikan banyak perspektif tentang bagaimana mengarahkan masa depan masyarakat manusia. Pemahaman di atas tidak berlebihan jika dirujukkan kembali pada pengertian bahwa ilmu-ilmu sosial merupakan pengetahuan sistematis tentang pola-pola perilaku dan interaksi sosial yang tersaji dari pernyataan struktur seperti norma, nilai dan aneka gejala budaya. Karena signifikansi tersebut, maka akan menjadi aneh jika ada pemikiran konstruktif tentang sebuah masyarakat yang tidak berangkat dari disiplin ilmu-ilmu sosial.
Ilmu sosial terlahir memiliki banyak perspektif selaras dengan kompleksitas material serta sudut pandang yang dimuatnya. Kuhn menyatakan bahwa subjek sosial bukan merupakan bagian dari ilmu-ilmu biasa atau normal sciences yang memiliki paradigma (koherensi tradisi sains) tunggal bagi keseluruhan bangunannya. Setiap teori sosial memiliki model yang beraneka ragam sesuai tradisi intelektual serta kecenderungan menanggapi gajala sosial yang bermacam-macam. Toh karena demikian adanya, bukan berarti keragaman perspektif kajian sosial menjadi sungguh-sungguh tidak bisa disederhanakan dalam sejumlah pengertian fungsi utama serta tujuan-tujuannya.
Desain yang ditawarkan kajian sosial terhadap penanganan sebuah interaksi masyarakat manusia yang baik dapat diformasikan ke dalam tiga bentuk dasar, yakni untuk kepentingan individu, kepentingan komunitas dan kepentingan negara. Pada sebuah hubungan sosial, individu menempati pihak pertama yang secara asasi harus dituntaskan. Bagi pengertian yang lebih jelas, individu adalah oknum yang memiliki hak-hak dasar yang harus dipenuhi dalam sebuah definisi sosial. Paham liberalisme dalam kajian sosial meyakinkan bahwa demi alasan apapun, individu sebagai sebuah subjek sosial yang otonom tidak bisa dihalangi hak-hak dasarnya secara bebas. Keberadaan individu merupakan pilar utama bagi bangunan sosial yang baik sehingga jika individu terpenuhi hak-hak dasarnya maka masyarakat pun akan baik.
Pada tahapan selanjutnya, komunitarianisme melihat ada sisi yang berbeda dari hanya sekedar memeperhatikan masalah individu. Bahwa tidak bisa tidak masyarakat merupakan sebuah komunitas bersama yang pemenuhan hak-haknya juga harus dilakukan bersama-sama. Hal ini diperhatikan karena pada beberapa kejadian yang mengakibatkan pertikaian tentang ketidakadilan sosial ternyata ditengarai karena faktor tidak terkontrolnya hak-hak dasar individu yang diatur secara bebas. Jika dibebaskan, maka hubungan sosial antara individu akan menjadi seperti di hutan dengan hukum rimbanya. Dalam hal ini, komunitarianisme lebih mementingkan adanya solidaritas sosial serta kesetiakawanan sosial.
Yang terakhir dari pemahaman ini adalah pentingnya masyarakat diatur oleh intitusi yang secara instruktif dan koordinatif lebih tinggi darinya, yang dalam hal ini adalah negara. Totalitarianisme adalah paham yang lebih dekat pada pengertian ini. Bahwa mustahil kondisi kebebesan akan menciptakan raut muka sosial yang adil seperti yang dibayangkan selama ini. Kebebasan hanya akan menyuburkan insting dasar manusia untuk saling berkompetisi secara ekstrim dan berlebihan. Manusia pada struktur kesadaran terbawahnya adalah hewani. Sehingga ketika struktur ini dilindungi oleh aturan yang terlembaga, maka hal itu sama dengan melembagakan insting hewani manusia. Dan bagaimana mungkin masyarakat yang bermartabat akan dapat diwujudkan jika komponen pendukungnya digerakkan oleh kesadaran hewani. Namun demikian totalitarianisme yang melibatkan negara sebagai aktor utamanya bukanlah tanpa cela. Berdasarkan catatan sejarah, masyarakat yang secara total hidupnya dipasrahkan kepada negara terbukti hanya menjadi bulan-bulanan negara. Negara hanya akan menjadi hewan lain yang lebih besar, lebih kuat dan lebih kejam yang sewaktu-waktu akan membunuh masyarakatnya sendiri tanpa bisa diperingatkan oleh kekuatan lain.
Dari ketiga tujuan serta alasan pembentukan masyarakat sosial tersebut merupakan satu investasi intelektual yang suatu ketika dapat dimanfaatkan oleh manusia yang lain untuk melakukan kajian tentang masyarakat secar lebih komperehensif.

Dasar Pemikiran
Tulisan ini dibangun dari tiga pemikiran dasar. Pertama, bahwa setiap gerakan sosial adalah upaya yang dilakukan sekelompok orang untuk melakukan perubahan atau mempertahankan cita-cita ideal dalam sebuah keadaan yang menyangkut kehidupan sosial, ekonomi dan politik dalam sebuah masyarakat. Pada hampir setiap gerakan sosial akan ada upaya untuk mengkritisi segala bentuk keputusan yang mengakibatkan hilangnya hak suatu masyarakat. Kedua, konflik sosial merupakan gejala yang timbul dari adanya perlawanan sekelompok orang yang memahami dirinya sebagai masyarakat “tertindas” terhadap kelompok masyarakat lain, institusi pemerintah atau perusahaan yang merebut hak mereka. Ketiga, setiap konflik sosial harus diletakkan dalam kerangka gagasan yang bermakna sebagai strategi perjuangan sekelompok masyarakat tertindas untuk mendorong adanya keadilan dalam perspektif mereka.
Berdasarkan tiga pikiran di atas, dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, gejala dan peristiwa konflik pada dasarnya merupakan “manufactured product”, bukan “primordial matter” dari sebuah gerakan sosial, karena gejala dan peristiwa tersebut merupakan insiden yang memang direncanakan terjadi dan merupakan bagian dari strategi perjuangan masyarakat tertindas untuk mewujudkan keadilan sosial menurut persepsinya. Kedua, karena perlawanan dan konflik yang ditimbulkan merupakan bagian dari strategi gerakan, maka konflik dalam kerangka perjuangan keadilan sosial adalah sesuatu yang harus terus dikobarkan sehingga menjadi kekuatan yang dapat mendorong pelaksanaan sesuatu yang dicita-citakan.
Pikiran di atas dan kesimpulan yang diambil darinya merupakan cikal bakal “cetak biru” untuk mengkonfirmasi organisasi-organisasi gerakan sosial yang mengklaim dirinya memperjuangkan keadilan sosial.

Analisis Sosial
Ada empat asumsi yang dapat digunakan untuk mengkonseptualisasi ilmu sosial, yaitu:
1. Ontology
Asumsi yang berhubungan dengan intisari / pokok persoalan dari fenomena yang sedang diteliti.
2. Epistomology
Asumsi ini adalah mengenai dasar dari knowledge (groud of knowledge), bagaimana seseorang dapat memahami / mengerti tentang lingkungan / dunia dan berkomunikasi dengan menggunakan knowledge terhadap sesama manusia.
3. Human Nature
Asumsi mengenai hubungan antara mahluk hidup dan lingkungan. Kita dapat mengidentifikasi perspektif pada ilmu sosial yang memerlukan pandangan dari sisi manusia ke dalam situasi yang terjadi di dunia luar. Perpektif ini bertentangan dengan perspektif dimana manusia dianggap sebagai pencipta dari lingkungan manusia tersebut. Manusia mengontrol dan memiliki lingkungan yang dia ciptakan.
4. Methodology
Ketiga asumsi diatas mempunyai implikasi langsung akan suatu metodologi. Perbedaan antara ketiga asumsi tersebut cenderung memicu para peneliti sosial untuk lakukan penelitiannya melalui metodologi yang berbeda.

Perbedaan pertama terlihat dari pertentangan ontologi antara nominalism dan realism. Nominalism berkembang diantara asumsi akan dunia sosial yang terletak diluar kesadaran/pengertian suatu individu adalah terbuat tidak lebih dari nama, konsep dan lebel yang digunakan untuk membuat struktur pada realitas. Sedangkan realism menyatakan bahwa dunia sosial yang terletak di luar kesadaran/pengertian suatu individu adalah suatu dunia nyata yang keras dan nyata dan mempunyai struktur yang relatif kekal / abadi.
Yang kedua adalah pertentangan epistemologi antara anti-positivism dan positivsm. Penulis menggunakan ‘positivist’ pada tulisan ini untuk mengkarakterisasikan epistemology yang mencari tahu penjelasan dan memprediksikan apa yang terjadi di dunia sosial dengan mencari untuk regularisasi dan hubungan yang disebabkan antara elemen-elemen pemilih. Esensi dari positivist epistemology adalah berdasarkan pendekatan tradisional yang mendominasi ilmu pengetahuan yang alami. Untuk anti-positivist, dunia sosial hanya dapat dimengerti dari sudut pandang dari seorang individu yang secara langsung terlibat di dalam aktifitas yang akan dipelajari.
Selanjutnya adalah pertentangan human nature antara voluntarism dan determinism. Pertentangan ini berkembang disekitar isu akan seperti apa seorang manusia yang di refleksikan berdasarkan teori-teori sosial. Penulis mengidentifikasikan pandangan determinism yang memperhatikan manusia dan aktifitas yang dikerjakannya secara tekun oleh situasi atau ‘lingkungan’ tempat dia berada. Kemudian penulis mengidentifikasikan voluntarist sebagai seorang manusia yang autonom dan mempunyai keinginan yang bebas.
Dan yang terakhir adalah pertentangan methodology antara ideographic dan nomothetic theory. Pendekatan ideographic kepada ilmu sosial berdasarkan pandangan akan seseorang hanya akan mengerti dunia sosial dengan memperoleh first-hand knowledge dari subyek yang sedang diteliti. Metode ideographic mementingkan pentingnya untuk membiarkan salah satu subyek membuka kealamian dan karakteristiknya selama proses investigasi. Sedangkan pendekatan nomothetic kepada ilmu sosial mendapat perhatian akan pentingnya akan melakukan riset berdasarkan atas protokol yang sistematis dan teknis. Contohnya adalah : survei, kuesioner, personality test sebagai alat yang membantu nomothetic methodology. Perbedaan yang besar terhadap setiap posisi akan keempat asumsi diatas direfleksikan di dalam dua tradisi intelektual utama yang telah mendominasi ilmu sosial selama kurang lebih 200 tahun. Yang pertama biasa dideskripsikan sebagai ‘sociological positivsm’. Intisari dari sociological positivism merefleksikan keinginan untuk mengaplikasikan model dan metode yang dihasilkan dari natural science dari studi akan perkara manusia. Kemudian yang kedua adalah ‘German idealism’ yang sangat bertentangan dari yang pertama. Intisari dari German idealism berdasarkan atas dasar pikiran akan realitas pokok dari alam semesta terletak di dalam semangat atau ide dibandingkan pada data akan tanggapan dan pikiran. Kedua tradisi intelektual ini kemudian mendefiniskan perbedaan besar dari objektif dan subjektif dari model yang ada. Dimensi objektif dan subjektif , adalah dua dimensi yang menangkap inti atas kesamaan antara empat analisis asumsi diatas.
Selanjutnya akan dibahas mengenai perkembangan asumsi yang digunakan dalam menganalisa dan meneliti sifat masyarakat. Perkembangan asumsi tersebut dipicu oleh adanya berbagai pendapat yang berbeda dari para ahli. Perbedaan pendapat ini menimbulkan terjadinya debat dan diskusi terhadap asumsi yang diajukan.
Berikut adalah penjelasan Teori Keteraturan vs Konflik. Konsep asumsi ini diajukan pertama kali oleh Dahrendorf (1959) dan Lockwood (1956). Mereka membedakan pendekatan dalam analisa sosiologi, dimana di satu sisi terdapat konsep yang konsentrasinya adalah menjelaskan sifat dari keteraturan sosial, dengankan di sisi lain terdapat konsep yang terkonsentasi pada masalah perubahan, konflik, dan kekerasan(paksaan) dalam struktur sosial. Pada masa ini, jumlah pemeluk paham teori ”keteraturan” lebih banyak dari teori ”konflik” Berdasarkan teori Dharendorf ini, Cohen (1968) mengelaborasi beberapa ide dasar pada teori ”keteraturan” vs ”konflik”, dan mengkritik bahwa Dharendorf salah, karena memperlakukan teori ”keteraturan” vs ”konflik” secara terpisah. Menurut Cohen, teori ”keteraturan” vs ”konflik” tidak bersifat ”mutually exclusive” (salah satu konsep bisa merupakan bagian dari konsep lain)Beberapa tahun kemudian, debat ini surut karena pengaruh menghangatnya isu-isu seputar filosofi dan metode dari ilmu sosial. Berdasarkan anggapan penulis, artikel Dahrendorf dan Lockwood ini berupaya mengembalikan pemikiran Marx, yang merupakan pencetus dari konsep ”konflik”. Pemikiran Marx ini diabaikan oleh banyak pencetus teori modern (Durkheim, Weber, Pareto). Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk mengevaluasi ulang teori ”keteraturan” vs ”konflik” ini. Evaluasi Teori ”Keteraturan” vs ”Konflik”.
Karena adanya demonstrasi dari Coser yang menyatakan bahwa konflik adalah mekanisme dalam membentuk integrasi, oleh karena itu konsep ”konflik” dipaksakan masuk ke dalam konsep ”integrasi”. Konsep lain yang dipermasalahkan adalah konsep ”konsensus” dan ”kekerasan”, dimana timbul kecurigaan bahwa kemungkinan ”konsensus” terbentuk akibat adanya ”kekerasan”. Konsep ”stabilitas” dan ”perubahan” juga dipertanyakan, sehubungan dengan adanya kemungkinan status quo pada konsep ”stabilitas” yang mencegah terjadinya perubahan. Konsep lain yang dipermasalahkan adalah konsep ”konsensus” dan ”kekerasan”, dimana timbul kecurigaan bahwa kemungkinan ”konsensus”terbentuk akibat adanya ”kekerasan”. Mengenai Regulasi vs Perubahan Radikal,menurut penulis, walaupun konsep-konsep yang diidentifikasi Dahrendorf cukup penting dalam membedakan teori ”keteraturan” vs ”konflik”, namun ciri-ciri dari teori ”konflik” ini masih kurang radikal untuk membedakannya dari ciri-ciri teori ”keteraturan” atau ”integrasi”. Oleh karena itu, penulis mengajukan konsep baru dari teori ”keteraturan” vs ”konflik” yang merupakan modifikasi dari pemikiran Dahrendorf, yang disebut teori ”regulasi” dan ”perubahan radikal.”.
Sejak 1960 debat sosiologis ada kecenderungan untuk fokus pada isu yang berkaitan dengan dimensi subyektif-obyektif dan mengabaikan dimensi regulasi radikal. Dalam konteks regulasi, ada pertentangan antara sosiologi interpretive dan fungsionalisme interpretive. Dalam konteks perubahan radikal ada pembagian antara penteori pandangan subyektif dengan pandangan obyektif. Pada pertengahan sampai akhir 1960 terjadi pergeseran fokus kepada masing-masing aliran subyektif dan obyektif. Akhirnya dimensi regulasi-perubahan radikal makin terabaikan. Jika kedua dimensi yang ada tersebut digabungkan, akan memberikan empat paradigma sosial yang dapat digunakan untuk menganalisis teori sosial, yaitu radikal humanis; radikal strukturalis; interpretive; dan fungsionalis. Keempatnya harus dipandang secara berkaitan sekaligus terpisah.
Keempat paradigma tersebut dipandang sebagai asumsi meta-teoretis yang mendasar, yang menekankan perspektif yang menyatukan sekelompok penteori sedemikian hingga mereka melakukan pendekatan terhadap teori sosial dalam masalah yang sama. Keempatnya mendefinisikan pandangan terhadap dunia sosial berdasarkan asumsi-asumsi meta-teoretis dikaitkan dengan dasar ilmu pengetahuan dan masyarakat.
Dalam analisis organisasi, pergeseran paradigma dapat diketahui melalui pergeseran paradigma fungsional ke interpretive. Keempat paradigma tersebut saling eksklusif dengan sudut pandang yang berbeda. Pada dasarnya keempatnya saling bertentangan, jika menerima asumsi salah satu di antaranya, asumsi yang lainnya ditolak.
Paradigma fungsional merepresentasikan perspektif yang berakar pada sosiologi regulasi dengan pendekatan obyektif. Paradigma ini menghasilkan sosiologi regulative dalam bentuk yang paling lengkap, dan memperhatikan regulasi efektif dan kontrol masalah sosial. Pendekatan ilmu sosial secara fungsionalis cenderung mengasumsikan bahwa dunia sosial terdiri dari produk empiris yang relatif konkret serta hubungan yang dapat diidentifikasi, dipelajari, dan diukur melalui pendekatan ilmu pengetahuan.
Sejak awal abad kedua puluh, paradigma fungsionalis dipengaruhi cara pikir sosial idealis Jerman. Sejak 1940-an, ada pengaruh Marxis terhadap sosiologi perubahan radikal. Hal tersebut dilakukan melalui usaha radikalisasi teori fungsionalis dan menolak tuntutan bahwa fungsionalisme itu tidak dapat menjelaskan perubahan sosial. Secara kasar, pembentukan paradigma fungionalis dapat dikaitkan dengan interaksi tiga set kekuatan intelektual, yakni: positivisme sosiologis, idealisme Jerman, dan teori Marxis.
Paradigma interpretive merepresentasikan perspektif yang berakar pada sosiologi regulasi dengan pendekatan subyektif, yang menyebabkan hubungannya dengan sosiologi regulasi seringkali implisit. Komitmen para sosiolog interpretive terhadap sosiologi regulasi pun jadi implisit.
Pendekatannya ke ilmu sosial secara nominal, antipositif, voluntaris, ideografis. Paradigma ini memandang dunia sosial sebagai proses sosial yang dihasilkan oleh individual yang terkait. Sosiologi interpretive berkaitan dengan memahami esensi dunia sehari-hari. Paradigma interpretive merupakan hasil pandangan sosial idealis Jerman. Perkembangannya sebagai framework analisis sosial dibantu oleh Dilthey, Weber, Husserl, dan Schutz. Ada beberapa usaha untuk memahami konsep keorganisasian dan situasi berdasarkan teori sosial. Tapi paradigma interpretive tidak menghasilkan teori organisasi yang memenuhinya.
Paradigma humanis radikal mengembangkan sosiologi perubahan radikal secara subyektif. Perspektifnya nominalis, antipositif, voluntaris, dan ideografis. Yang diutamakan penteori yang menganutnya adalah dengan keluaran dari batasan yang diletakkan oleh pengaturan sosial pada perkembangan manusia. Hal tersebut adalah suatu brand dari teori sosial yang dirancang untuk memberi kritik terhadap status-quo. Humanis radikal menekankan pada perubahan radikal, cara dominasi, emansipasi, deprivasi, dan potensialitas. Pandangan humanis radikal menekankan pada human consciousness. Paradigma ini diturunkan dari tradisi idealis Jerman. Inti paradigma humanis radikal berdasarkan kepada invers dari asumsi yang mendefinisikan paradigma fungsionalis.
Paradigma strukturalis radikal mendukung sosiologi radikal dari sudut pandang obyektif. Pendekatannya terhadap teori sosial banyak kesamaan dengan teori fungsionalis. Tetapi arahnya kepada perubahan radikal, emansipasi, dan potensialitas. Paradigma ini menekankan konflik struktural, cara dominasi, kontradiksi, dan deprivasi. Strukturalis radikal berkonsentrasi pada hubungan struktural dalam dunia sosial yang realis.
Beberapa aliran dari paradigma ini fokus pada kontradiksi internal, ada juga yang fokus pada struktur dan analisis hubungan kekuasaan. Tetapi semuanya sepaham untuk pandangan bahwa masyarakat kontemporer dicirikan oleh konflik mendasar yang menghasilkan perubahan radikal melalui krisis politik dan ekonomi. Paradigma ini banyak sekali mendapat kontribusi dari Marx. Pada akhir 1970-an, sekelompok penteori sosial mencoba mengeksplorasi pemikiran Marz dan Weber, dan menghasilkan cara pandang yang disebut “teori konflik”. Paradigma strukturalis radikal memberi banyak dampak signifikan terhadap ilmu organisasi, tetapi dalam bentuk yang paling dasar.


0 komentar:

Posting Komentar