Oleh Dr. Fu’ad Jabali
Konsep Jama’ah bisa memberikan justifikasi religius bagi partisipasi masyarakat Indonesia dalam kerangka bernegara dan berbangsa. Mengaku dirinya sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah, mereka berikrar kepada Tuhannya bahwa mereka akan mengabdikan diri, selain pada realisasi nilai-nilai luhur yang ada dalam Sunnah Nabi, juga pada pembangunan Jama’ah. Kalau Jama’ah di Indonesia berantakan, kalau orang tidak peduli lagi dengan nasib kebanyakan orang, dan kalau orang meruksak masa depan orang kebanyakan, berarti klaim mereka sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah patut dipertanyakan.
Kata-kata “Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah,” atau bisa juga ditulis “Ahlussunnah wal-Jama’ah (Aswaja),” sudah lama dan berulangkali muncul di langit Indonesia. Lebih dari 70 tahun yang lalu NU mendeklarasikan dirinya sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah. Demikian halnya Muhammadiyah, kelompok yang biasanya dipersebrangkan dengan NU. Orang-orang Islam di luar kedua ormas ini pada umumnya juga menyebut dirinya sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah. Gerakan Shi’ah di Indonesia dilawan dengan slogan Ahlussunnah wal-Jama’ah.
Shi’ah ditolak karena bertentangan dengan prinsip-prinsip Ahlussunnah wal-Jama’ah. Terakhir ada kelompok yang “berjihad” ke Ambon dan Poso menamakan dirinya Laskar Jihad Ahlsunnah wal-Jama’ah. Tetapi apa sesungguhnya Ahlussunnah wal-Jama’ah itu?
Secara literal Ahlussunnah wal-Jama’ah berarti “Pendukung Sunnah (Nabi Saw) dan Jama’ah.” Para pendukungnya adalah orang-orang yang menjadikan Sunnah Nabi Saw dan Jama’ah sebagai tiang utama bangunan keislaman mereka. Hilang salah satu dari keduanya, bangunan Islamnya goyang, bahkan bisa jadi hancur. Dengan kata lain, orang yang tidak mengikuti Sunnah atau orang yang tidak mengikuti Jama’ah, atau keluar dari Jama’ah, maka dia bukan lagi bagian dari masyarakat Islam.
Penekanan pada Sunnah tidak berarti penafian terhadap al-Qur’an. Al-Qur’an adalah sumber Islam yang utama. Semua orang Islam dari semua golongan mengakui ini. Tapi isi al-Qur’an begitu umum sehingga tidak cukup untuk dijadikan rujukan dalam penyelesaian detil permasalahan yang dihadapi masyarakat sekarang. Belum lagi persoalan perbedaan penafsiran.
Semakin umum suatu pedoman semakin terbuka untuk ditafsirkan. Maka Khalifah Ali (pemimpin keempat umat Islam sepeningal Nabi Saw), waktu mengirim utusannya menghadapi Khawarij, kelompok yang memisahkan diri dari Ali dan tidak mau mengakui pemerintahannya, wanti-wanti untuk tidak menjadikan al-Qur’an sebagai dasar untuk berargumen dan untuk memperoleh kembali dukungan mereka. “Al-Qur’an itu terlalu umum sehingga apapun yang kamu sampaikan akan ada bantahannya yang juga diambilkan dari al-Qur’an. Berargumenlah dengan Sunnah,”demikian Ali. Jadi walaupun al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam, pada prakteknya Sunnah inilah yang paling sering dirujuk.
Setelah Sunnah, otoritas yang bisa menjelaskan al-Qur’an dan sekaligus menjadi pedoman masyarakat Muslim adalah Jama’ah. Ketika masih hidup, tentu saja Nabilah yang menjalankan fungsi penjelas wahyu dan pedoman umat ini. Sepeninggalnya, masyarakat Muslim terbagi menjadi dua kelompok: Sunni dan Shi’i. Bagi kelompok Shi’ah, sepeninggal Nabi Saw otoritas jatuh ke tangan turunan Nabi lewat Fatimah dan Ali. Kepemimpinan lalu diwariskan secara turun menurun. Imam, turunan Nabi Saw pemegang otoritas itu, menempati posisi yang sangat penting dalam tradisi Shi’ah.
Bagi orang Sunni, sepeninggal Nabi otoritas jatuh ke tangan masyarakat Islam, yang disebut Jama’ah. Jama’ahlah yang menjdi ‘wakil’ Tuhan di bumi. Jama’ahlah yang menentukan siapa yang akan memegang otoritas politik dan agama. Pemimpin umat dipilih oleh Jama’ah. Keputusan-keputusan apapun yang menyangkut masyarakat Muslim ditentukan oleh Jama’ah lewat musyawarah.
Hasil putusan Jama’ah disebut Ijma’. Sekali diputuskan, Ijma menjadi sumber hukum yang harus diikuti oleh semua anggota Jama’ah. Umar pernah mengatakan bahwa “Tangan Allah itu di atas Jama’ah.” Apa yang baik menurut Jama’ah pasti baik menurut Tuhan. Orang Islam yang keluar dari Jama’ah dianggap bukan Islam. “Barang siapa yang meninggal dalam keadaan lepas dari Jama’ah, maka matinya adalah mati Jahiliyyah,” demikian kata Nabi. Jahiliyyah adalah keadaan seseorang atau suatu masa sebelum Islam.
Konsep Jama’ah bisa memberikan justifikasi religius bagi partisipasi masyarakat Indonesia dalam kerangka bernegara dan berbangsa. Mengaku dirinya sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah, mereka berikrar kepada Tuhannya bahwa mereka akan mengabdikan diri, selain pada realisasi nilai-nilai luhur yang ada dalam Sunnah Nabi, juga pada pembangunan Jama’ah. Kalau Jama’ah di Indonesia berantakan, kalau orang tidak peduli lagi dengan nasib kebanyakan orang, dan kalau orang meruksak masa depan orang kebanyakan, berarti klaim mereka sebagai penganut Ahlussunnah wal-Jama’ah patut dipertanyakan.
Identifikasi yang sangat jelas antara Jama’ah dengan Islam ada pada masa Nabi. Waktu menyeru kepada Islam, Nabi kadadang-kadang mengggunakan kata-kata “Masuklah Anda ke Jama’ah.” Maksudnya, masuklah Anda ke dalam Islam. Tetapi perlu diingat bahwa Madinah pada masa Nabi juga dihuni kalangan non-Muslim (antara lain, Yahudi). Pembuatan Piagam Madinah, sebuah dokumen yang berisi hak dan kewajiban masing-masing angggota masyarakat Madinah, tentu saja melibatkan kelompok-kelompok non-Muslim. Analisa terhadap dokumen itu menunjukkan bahwa piagam ini tidak dibuat sekali jadi, tetapi dalam beberapa tahapan melalui negosiasi yang alot.
Sebagai produk dari sebuah negosiasi, tidak semua apa yang ditulis di dalam dokumen itu sesuai dengan keinginan Nabi dan orang-orang Islam. Nabi, misalnya, dalam dokumen itu tidak meletakkan dirinya sebagai pemimpin agama, tetapi lebih sebagai kepala suku. Demikian juga, tidak semua kepentingan orang-orang non-Muslim diakomodasi oleh dokumen tersebut. Masing-masing bergeser dari posisi awal dan berusaha menemukan kesepakatan.
Berasal dari bahasa Arab, jama’ah berarti ‘persatuan’atau ‘kebersamaan.’ Sembahyang berjama’ah artinya sembahyang bersama-sama. ‘Ijma’ adalah keputusan bersama. Menekankan aspek kebersamaan, Jama’ah lebih dari sekedar persoalan mayoritas minoritas, sehingga simple majority bukanlah mekanisme yang diadopsi untuk memperolah keputusan. Ia adalah instrumen dimana hubungan kemanusiaan, pengakuan adanya perbedaan, partisipasi semua pihak, dan kelegaan bersama dipelihara. Kebersamaan tidak dicapai dengan cara menghilangkan kelompok lain, tetapi dengan cara dialog.
Membangun Jama’ah adalah membangun dialog dan melakukan negosiasi. Dan, perlu diingat, ini adalah Sunnah Nabi Saw
0 komentar:
Posting Komentar