ISLAM RAHMATAN LIL ‘ALAMIN

Posted by azzam Label:


Kehidupan bermasyarakat sebagai sebuah persoalan yang cukup kompleks seringkali menimbulkan fenomena-fenomena sosial yang rentan sekali melahirkan perbedaan-perbedaan atau bahkan perselisihan dalam hal persepsi. Upaya membangun persepsi positif tentang Islam di mata dunia akan sulit terwujud manakala paradigma keislaman tidak mengedepankan visi Islam Rahmatan Lil ‘Alamin dalam membangun perdamaian dunia hakiki.
Menurut KH. Hasyim Muzadi, secara etimologis Islam berarti damai. Sedangkam Rahmatan Lil ‘Alamin berarti kasih sayang bagi semesta alam. Maka yang dimaksud dengan Islam Rahmatan Lil ‘Alamin adalah Islam yang kehadirannya di tengah kehidupan masyarakat mampu mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam. Rahmat adalah kurnia yang dalam ajaran agama terbagi menjadi dua. Yakni, rahmat dalam konteks rahman, dan rahmat dalam konteks rahim. Rahmat dalam konteks rahman adalah bersifat amma kulli syai’ (universal), meliputi segala hal, sehingga orang-orang non Muslim pun mempunyai hak kerahmanan. Sementara rahmat dalam konteks rahim adalah kerahmatan Allah SWT, yang khoshshun lil muslimin, atau hanya diberikan kepada umat Islam.
Memahami Islam dalam memandang dan menyikapi masalah-masalah sosial kemasyarakatan, hendaknya diperhatikan dua dimensinya : Pertama, dimensi tekstual, artinya nash-nash yang diberikan oleh Islam kepada umatnya melalui ayat al-Qur’an atau Sunnatur Rasul, juga petunjuk-petunjuk para sahabat nabi dan ulama melalui karya-karya ilmiah mereka. Kedua, dimensi kontekstual, artinya yang menyangkut kondisi dan situasi uamt serta fenomena-fenomena sosial yang dipengaruhi oleh tuntutan waktu dan tempat, sehingga menampilkan suatu citra tertentu terhadap Islam.   
Dalam kajian Islam sebagai suatu perangkat ajaran dan nilai, tentunya kita semua setuju, bahwa memang Islam telah meletakkan konsep dan doktrin yang memberikan rahmat bagi al-‘alamin. Namun sejarah umat Islam kerapkali mencatat fenomena-fenomena sosial yang dialami oleh komunitas ini sebagai kebalikan atau paling tidak penyimpangan berat dari konsep-konsep dasar kemasyarakatan Islam. Disini menunjukkan, suatu nilai-nilai normative itu pada saat tertentu memang harus berbenturan dengan realitas sosial yang dipengaruhi oleh bermacam-macam kepentingandan tuntutan akan mengalalami bahaya distorsi.
Islam sebagai ajaran yang memuat nilai-nilai normatif, begitu bagusnya dalam memandang dan menempatkan martabat dan harkat manusia, baik sebagai individu maupun sebagai anggota sosial. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut : a. Konsep kesamaan (as-sawiyah) ; yang memandang manusia pada dasarnya sama derajatnya. Terjadinya stratifikasi sosial maupun pejenjangan lainnya itu terbenrtuk karena proses lain. Satu-satunya pembedaan kualitatif dalam pandangan Islam adalah ketaqwaan. Konsep ini secara sosiologis membongkar feodalisme, baik feodalisme religius, feodalisme kapitalis atau feodalisme aristokratis. Berapa macam pengkotakan sosial yang seharusnya tumbang menghadapi konsep ini? b. Konsep keadilan (al-‘adalah) ; yang membongkar budaya nepotisme dan sikap-sikap korup, baik dalam politik, ekonomi, hukum, hak dan kewajiban, bahkan dalam praktek-praktek keagamaan. Keresahan sosial dalam sejarah peradaban manusia hampir selalu bermuara pada ‘rasa diberlakukan tidak adil’. Dan masalah ini lebih rawan dari pada rasa kurang makmur. Keadilan tersebut menyangkut harkat hidup manusia dan harga diri. c. Konsep kebebasan / kemerdekaan (al-hurriyah) ; yang memandang semua manusia pada hakekatnya hanya hamba Tuhan saja, sama sekali bukan hamba manusia. Berakar dari konsep ini, maka manusia dalam pandangan Islam mempunyai kemerdekaan dalam memilih profesi, dalam memilih wilayah hidup, bahkan dalam menentukan pilihan aganapun tidak dapat dipaksa.
Jika kita mengamati dari sisi kesejarahan, ternyata kita kerapkali menemukan hal-hal yang berbeda dengan konsep dasar tersebut. Masalahnya, kerapkali kepentingan politik, ekonomi dan lain-lainnya memaksakan agama sebagai justifikasi kepentingan tersebut. Sehingga Islam menampilkan diri dalam versi pucat dan kurang cerah lagi, Islam kehilangan wajah aslinya, yang tampil pada permukaan sebenarnya adalah wajah kepentingan-kepentingan tersebut.
Karena adanya percampur-adukkan pemahaman orang tentang realitas kebenaran tersebut, maka sering orang memandang Islam seperti apa yang dilakukan oleh sementara umatnya, pada suatu waktu atau suatu tempat. Mungkin orang melihat Islam itu identik dengan kekerasan, mungkin juga orang menyamakan kebenaran Islam dengan pengakuan benarnya seorang tokoh kharismatik. Bahkan mungkin orang menganggap etika Islam itu sama dengan teroris dan pembajak.
Untuk mengembalikan citra Islam yang rahmatan lil ‘alamin memang memerlukan suatu pemikiran dan upaya yang serius dan rasional. Isu ‘tajdid yang yang selama ini terdengar bersumber dari : Pertama, Keprihatinan teologis, karena banyaknya penyimpangan konsepsional dan doktrial dari Islam itu sendiri, ditengah-tengah munculnya berbagai interest dan kemauan-kemauan. Kedua, Keprihatinan struktural, karena realitas sosial Islam jauh diluar idealisasi Islam sendiri. Permusuhan, kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan menggejala dalam kehidupan umat Islam. Ketiga, Keterpesonaan pengaruh mitos modernisasi barat, yang terlanjur menjadi kebudayaan masa kini, dengan segala akibat dan kebobrokannya. Tapi masih menjadi orang, karena yang lain belum mampu membuktikan kelebihannya.
Untuk memberi warna yang lebih cerah kepada Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, memang tidak cukup dengan semangat ortodoksi saja, namun juga ada semangat ortopraksi, yang mampu membawa Islam menjawab kebutuhan nyata yang dihadapi umat manusia masa sekarang. Islam harus dapat landing ditengah-tengah kebutuhan hidup manusia modern masa kini dan mendatang. Dan Islam memiliki potensi untuk itu, tinggal manusia muslimnya ditantang kemampuannya untuk menerjemahkan Islam dengan segala nilainya agar tetap rahmatan lil ‘alamin.      
  

0 komentar:

Posting Komentar