Kritik-Otokritik Sistem Perkaderan PMII

Posted by azzam Label:

Oleh: A.Malik Haramain

            Indikator termudah dan seringkali dijadikan ukuran keberhasilan dari sebuah organisasi adalah seberapa banyak (kuantitas) dan seberapa hebat (kualitas) intregitas maupun kapabilitas out put(alumni) yang dihasilkannya. Miskinnya sebuah organisasi dalam me-mereproduksi intelektual, tokoh/ pemimpin yang memiliki kecakapan dibidangnya (profosional ), kritis, visioner dan berkarekter akan menunjukkan macetnya sebuah organisasi yang berarti pula kegagalan kaderisasi di tubuh organisasi tersebut. Pemahaman public yang seperti ini sedikit banyak juga berpengaruh pada system dan pola perkaderan PMII.
          PMII menjadikan dirinya sebagai organisasi massa sekaligus organisasi kader dengan basis massa terbesar di Indonesia. Beban berat tersandang dipundak PMII. Sebab besarnya massa yang dimiliki, menuntut PMI harus mampu mengantrakan warganya memahami realitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya melalui proses pembebasan (liberasi) dan kemanusiaan(humanisasi). Oleh karena itu, system perkaderan di PMII, bukan untuk mengarahkan kadernya sebagai individu-individu yang terasing(alienasi) dan tercerabut dari reaitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, yang mengantarkan para kader PMII hanya mampu menonton gerak sejarah dan perubahan, bukan pencipta sejarah serta perubah itu sendiri. Namun, system perkaderan di PMII diarahkan terciptanya individu-individu yang merdeka, otonom, independent, baik dalam berpikir, bersikap maupun berprilaku serta memiliki kapasitas dan kepedulian berpartisipasi secara kritis dalam setiap aksi perubahan menuju perubahan menuju tatanan masyarakat, negera dan dunia yang PMII cita-citakan.
          Kader merupakan roh organosasi. Karena itu perkaderan di PMII diformulasikan secara sistematik dan terencana dengan baik, sehingga menjadi ujung tombak keberlangsungan dan kesinambungan dinamika organisasi. Tersistematis artinya, pola perkaderan di PMII mengandung esensi dalam rangka memformulasikan tahapan jenjang kader yang dibangun di atas kerangka pijakan yang jelas, dalam bingkai ideology dan paradigma gerakan, serta menyangkut muatan yang harus dipunyai oleh kader.
          Terncana, artinya perkaderan di PMII diproyeksikan bagi terlaksananya pola kaderisasi yang tersusun secara regular, berjenjang dan sesuai dengan visi serta misi organisasi. Oleh karena itu, gerak perkaderan di PMII diarahkan tersedianya human resources penopang utama  bagi keberlangsungan organisasi yang disandarkan pada klafisikasi kader sesusai dengan tingkatannya demi mengambat amanat, nilai-nilai, serta ide-ide besar PMII.
          Namun, problem mendasar PMII hari ini adalah sulitnya mencari “kader ideologis”, yang sesuai dengan idealisasi paradigma pengkaderan di atas. Ahrus di akui, prakmatisme yang di bangun (baik di sengaja atau tidak,di sadari atau tidak) oleh beberapa kader atau para alumni PMII yang mencoba membangun loyalitas kader dengan setumpuk tawaran prakmatisme, telah mengkibatkan kader-kader PMII mengalami deviasi (erosi idealisme dan moralitas) dari tujuan semula sebagai organisasi kader. Kentalnya prakmatisme, membawa runtuhnya nilai-nilai ideologis kader akan sistem nilai, keyakinan dan sikap yang selalu menjunjung tinggi kebenaran, kesdilan, dan kejujuran, apapun taruhannya. Hal ini berimplikasi pada menurunya kadar kritisme pemikiran dan gerakan yang membuat PMII mengalami degradasi cukup tajam disana sini.
Indikator  termudah adalah sulitnya kita mencari korelasi nyata antara sepak terjang kader dengan basis ideology, dan paradigma yang dimiliki PMII dari beberapa penglihatan sederhana yang pernah saya lakukan bersama sahabat lainya, ada kecendrungan besar dari para pengurus atau kader PMII dari mulai Cabang hingga Rayon bahwa apa yang mereka lakukan selama ini, lebih banyak merupakan”reaksi spontan” atas realitas yang terjadi, bukan berdasarkan implementasi proses (hasil) perkaderan sistematik dari PMII. Artinya, PMII hany mampu memberika wadah untuk berkiprah, tetapi gagal memberikan “atmosfer” kondusif yang siap mendorong terciptanya proses dan hasil kaderisasi yang terbaik sesuai dengan mekanisme/ pola pengkaderan yang ada di PMII.
Kalau toh kemudian ada beberapa kader PMII yang kritis, piawai dalam gerakan aksi jalanan dan pemberdayaan, serta “melek wacana” (intelek), itu lebih di karenakan kuatnya kemauan dan kerja keras individu kader itu sendiri. Bukan imbas nyata dari proses pengkaderan terencana dan sistematik dari PMII. Bahkan, dibeberapa  daerah justru ada kecenderungan besar, bahwa kalau mereka ingin mengasah dan menambah kemauan intelektual serta menemukan habitat yang kondusif bagi pergulatan dengan segala discourse keilmuan, keislaman, social humaniora ataupun filsafat, harus mancarinya di tempat lain luar PMII. Mereka lebih banyak bergabung dengan kelompok kajian-kelompok kajian yang didirikan oleh para mantan alumni PMII komunitas NU lainnya ataupun kelompok diluar tradisi PMII atau NU sendiri. Begitu dengan sahabat-sahabat kita yang sangat getol dengan”gerakan jalanan”, lebih merasa punya eksisitesi dan terakomodasi di berbagai organisasi semi legal, bukan di PMII.
Fenomena di atas, sungguh meresahkan. Sebab PMII tidak lagi di yakini mampu mewadahi segebok idealisme mahasiswa, baik dalam ranah pemikiran ataupun pergerakan. Justru kelompok kajian dan organisasi semi legal yang tidak memiliki kaitan structural apapun dengan PMII yang mampu memberikan apa yang mereka butuhkan. Memang hal ini tidak bias digeneralisir sedemikian rupa. Namun sekecil apapun kadar kecenderungan di atas, tetap harus menjadi concern bersama dari seluruh penguruh dan aktivitas PMIIdimanapun saja, agar fenomena ini tidak semakin menggelinding membentuk bola salju yang kian membesar, dan mencerabut tradisi kritisisme yang selama ini telah dengan susah payah dibangun, apalagi sampai membahayakan eksistensi PMII sendiri.
Dasar teologis, filosofis maupun paradigmatik sistem dan pola perkaderan di PMII sebenarnya sudah cukup baik. Bahkan oleh beberapa kalangan di luar PMII diakui cukup komplit, terpadu, berbobot, dan dalam sisi metodologis cukup sistematis daripada yang ada di organisasi  kemahasiswa lainnya. Namun, harus diakui bahwa persolannya kemudian adalah bagaimana mendialogkan sistem dan panduan perkaderan tersebut dengan “beban tradisi” dari resources PMII yang kebanyakan berasal dari latar social rural-agraris tradisional, komunal dan cenderung agak kolot ditambah mainstream dinamika perkembangan masyarakat yang begitu cepat dan sulit dikontro.
Sejumlah persoalan diatas merupakan realitas obyektif sebagai implikasi dari persentuhan PMII dengan berbagai kondisi obyektif internal organisasi kampus, dan lingkungan sekitarnya. Tidak adil tentunya, membandingkan pola perkaderan antara cabang yang satu dangan lainnya. Sebab, hal itu akan sangat dipengaruhi oleh basis material(resourse) serta kondisi social-kultural daerahnya masing-masing. Apalagi kemudian membuat cabang mana yang paling berhasil melaksanakan perkadera di PMII. Apakah Yogyakarta bias dinilai sebagai cabang yang paling sukses melakukan perkaderan dalam hal ”pendigdayaan”  intelektual kadernya , cabang Malang yang dianggap konsisten dalam melakukan perkaderan regular dan tertata organisasinya, atau cabang Salatiga yang dianggap paling mampu mencipatakan kader yang ahli dalam advokasi, cabang-cabang di Sulawesi Selatan sebagai penghasil kader-kader tingkat nasional, Jakarta sebagai penghasil tokoh-tokoh gerakan yang kritis dan berani dan lain sebagainya. Semua itu belum bisa menjadi ukuran. Perlu pembuktian lebih lanjut dan mesti dibarengi dari seluruh cabang yang PMII miliki.
Meski begitu, kita semua harus mengakui bahwa jumlah kader PMII yang mampu meneruskan studinya hingga S-2 dan S-3 semakin banyak, tidak hanya didominasi hanya oleh para mahasiswa fakultas/ jurusan agama, tetapi tidak sedikit yang berasal dari fakultas / jurusan ilmu-ilmu social-humonioran bahkan eksata. Sekarang ini tidak sulit mencari kader PMII yang menempuh magisteratau doctoral di UI, IPB, ITB, UGM ataukah perguruan tinggi bergengsi lainnya. Tidak hanya itu, sudah puluhan jumlahnya kader-kader PMII yang mendapatkan bea siswa sekolah di luar negeri.
Kemidan sejak paruh terakhir dasa warsa ’90 an hingga sekarang,para alumni PMII mulai tersebar diberbagai sector kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan Indonesia. PMII itu kebanyakan kiai, dosen agama, politisi , dan aktivs LSM saja. Realitas ini tentunya cukup mengembirakan. Namun hal itu masih belum bisa dipakai sebagai satu-satunya parameter bahwa perkaderan di PMII telah berhasil dan sesuai dengan perkaderan yang telah ada ?.                 
                                             
                                                                             Penulis adalah Mantan Ketua PB PMII

1 komentar:

  1. Unknown

    untuk kebaikan kader masa depan

Posting Komentar