Islam Pribumi

Posted by azzam

"Upaya Melacak Geneologi Islam Indonesia "

Islam hadir di bumi ini mengemban visi-misi pembebasan (al-hurriyah), perdamaian, kerukunan (as-salamah, al-maslahah), dan keadilan (al-adalah). Membebaskan umat dari penindasan baik di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya maupun psikologi. Robert N Bellah (2000) mengakui bahwa agama adalah instrumen ilahiyah untuk memahami dunia. Abu Ishak al-Syatibi (w 790 H) dalam al-Muwafaqat fiy Ushul al-Fiqh menyebutkan bahwa tujuan diturunkannya syariat demi kemaslahatan manusia.
Karena itulah, semua hal dalam agama harus diarahkan dan didasarkan pada visi-misi di atas. Budaya, tradisi, kebiasaan manusia yang bertentangan dengan visi-misi agama itu harus diluruskannya, tanpa kekerasan. Sebab, kekerasan adalah suatu hal yang bertentangan dengan agama. Secara eksplisit Al-Qur'an menyebutkan, tidak ada paksaan dalam agama (Qs. 2/256)
Islam --seperti juga agama-agama lain-- turun dalam struktur masyarakat yang tidak berperadaban, amoral, destruktif. Masyarakat Mekah adalah jahiliyah, menyekutukan Tuhan dengan cara menyembah patung. Dan dalam konstruk sosialnya, masyarakat Mekah merupakan bangunan masyarakat yang secara sosial, ekonomi, dan politik, hidup dalam subordinasi segelintir pedagang Quraisy yang bersikap eksploitatif. Peperangan antarsuku, kabilah, nepotisme, dan tribal aristocracy merupakan tradisi masyarakat Mekah. Dan secara teologis, tata nilai yang berkembang pesat saat itu adalah politeisme. Struktur sosial, ekonomi, politik, teologis semacam itu tidak cocok lagi untuk dipertahankan lebih lama. Nilai-nilai sudah begitu aus dan keropos, sehingga membawa pengaruh yang tidak sehat bagi kehidupan masyarakat sekitar (Amin Abdullah, 1996).
Karena itulah, Islam berupaya untuk membebaskan kelompok-kelompok marginal yang tertindas, yang berada pada strata sosial terbawah dari masyarakat piramidal, yang menjadi objek eksploitasi oleh sekelompok orang yang ada di pucuk piramid. Islam datang untuk mengubah (to transform) tata nilai yang patologis, vandalistik, struktur sosial yang feodalistik-patriarki. Semangat egalitrianisme, liberatif-konstruktif dan humanisasi, emansipatif harus menjadi semangat Islam dalam berdialektika dengan sosiokultur masyarakat.
Akan tetapi, sekurang-kurangnya ada dua hal penting yang tersisa, terlupakan dan tampak problematis. Pertama, pada satu sisi Islam mengajarkan umatnya untuk ramah, toleran, inklusif. Tetapi pada sisi lain menyarankan penganutnya untuk senantiasa berjuang melawan segala hal yang tidak berbau Islam. Misalnya, konsep jihad, amar makruf nahi mungkar. Rasa hormat Muhammad terhadap tradisi al-kitabiyah (Nasrani dan Yahudi) diperlihatkan dalam ajarannya bahwa selama berdoa seseorang harus menghadap ke Yerussalem, Bait al-Maqdis. Muhammad memerintahkan perubahan arah kiblat ke Mekah ketika komunitas Yahudi menolak untuk menerima Muhammad sebagai pemimpin tunggal dari satu komunitas Allah, Arab.
Kedua, adanya jarak yang terlalu jauh antara Islam dan perkembangan zaman. Zaman terus berkembang begitu pesat, sementara Islam masih tampak berjalan di tempat. Akibatnya, Islam sangat lamban merespons perubahan zaman dalam sosiokultur masyarakat semakin sulit untuk dikendalikan, apalagi oleh agama. Arus rasioalisasi dan transformasi yang begitu deras, dengan sistem identitas tidak lagi dijembatani oleh letak geografis, etnik, lokalitas semakin menjauhkan agama (Islam) dari masyarakatnya. Bagaimana Islam yang tertinggal jauh bisa berdialektika secara konstruktif dengan perubahan sosial-budaya yang semakin tidak menentu itu bisa terjadi? Tidakkah ini termasuk suatu hal yang sangat sulit, atau bahkan utopia?
Karena itu, tidak boleh tidak Islam terlebih dahulu harus diterjemahkan sesuai dengan maqashid al-syariah dan lokalitas budaya tertentu. Penerjemahan Islam semacam ini mengandaikan adanya kontekstualisasi sebagaimana yang dipaparkan oleh Khamami. Hal ini penting dilakukan, karena Islam sebagai agama bukanlah rumusan doktrin yang memang sudah sempurna dan mencapai titik final, tetapi juga sekaligus sebagai fakta sejarah yang berproses dan menyatu dalam perkembangan sejarah kemanusiaan.
Islam adalah agama yang masih memerlukan adanya perubahan-perubahan mendasar guna menjawab tantangan zaman. Islam tentu harus mengapresiasi adanya lokalitas. Memandang budaya lokal sebagai lawan atau justru musuh Islam berarti menempatkan Islam sebagai agama Tuhan yang tak tersentuh oleh manusia, karena itu akan kehilangan signifikansinya
Pemikir progresif muslim dari Mesir Prof Hassan Hanafi, dalam bukunya Dirasat Islamiyah (2000:71) menyatakan, ''Wahyu bukanlah sesuatu yang berada di luar konteks yang kukuh tak berubah, melainkan berada dalam konteks yang mengalami perubahan demi perubahan.'' Pernyataan Hassan Hanafi tersebut semakin menegaskan sebuah tesis bahwa Islam bukan nebula wahyu yang jauh di langit, terlepas sama sekali dari kenyataan konkret masyarakat. Islam bukanlah suatu creatio ex nihilio: ciptaan yang meloncat begitu saja dari ruang kosong. Nabi Muhammad sebagai penerima adalah seseorang yang 'diasuh' oleh lokalitas Arab waktu itu. Ia tidak terisolasi dari konteks. Dengan demikian, wajar jika aspek lokalitas ini terliput demikian luas dalam Al-Qur'an. Sejumlah nomenklatur Al-Quran dengan jelas menunjukkan latar lokalitas kehadiran Al-Qur'an ini.
Di hadapan Islam Pribumi, budaya-budaya lokal Arab era Muhammad memiliki dua keuntungan sekaligus. Pertama, kita akan dapat mengetahui kepiawaian Nabi di dalam membangun pangkalan-pangkalan pendaratan ajaran inti Islam. Strategi kebudayaan yang telah dilakukan Nabi Muhammad kiranya akan memberi inspirasi tatkala hal yang sama hendak digelar di tempat lain. Kedua, kita bisa melakukan penyaringan, mana-mana yang merupakan tardisi lokal-particular Arab dan mana-mana ajaran universalnya. Artinya, Islam Arab harus diperas sedemikian rupa untuk mendapat sari pati Islam universal. Tentu, proses penyaringan ini harus dilakukan secara hati-hati agar tidak terperangkap pada upaya purifikasi Islam.
Islam Pribumi sama sekali tidak berpretensi untuk mengangkut budaya-budaya lokal Arab untuk coba ditanam di pelbagai belahan bumi Indonesia. Islam Pribumi menyadari sepenuhnya bahwa universalisasi terhadap budaya-budaya lokal Arab seperti itu bukanlah tindakan yang bijaksana, malah kerap berimplikasi pada pupusnya budaya-budaya lokal itu. Lebih jauh, Abdurrahman Wahid menyatakan, proses mengidentifikasikan diri dengan budaya Timur Tengah hanya akan menyebabkan tercabutnya penduduk Indonesia dari akar budayanya sendiri. Sebab, demikian Abdurrahman Wahid, arabisasi belum tentu cocok dengan kebutuhan. Berbeda dengan Wahabisme atau penggerak purifikasi Islam yang hendak menanam tradisi lokal Arab ke tanah Indonesia, maka Islam Pribumi berupaya untuk men-dialektika-kan ajaran-ajaran inti Islam ke dalam budaya-budaya lokal Indonesia.



0 komentar:

Posting Komentar