KRITIK WACANA AGAMA

Posted by azzam

 Abstraksi
Hadirnya Islam dalam ruang sosial masyarakat Arab yang mempunyai karakteristik sosial, ekonomi, politk dan budaya tersendiri. Hal ini memberikan warna tersendiri dalam proses “menjadinya” Islam sebagai agama manusia. Sejarah Islam yang selama ini kita pahami,  banyak memendam realitas dan menyimpan data-data sejarah yang harusnya diungkap secara jelas dan transparan agar tercipta pemahaman yang utuh. Misalanya, konflik politik, perbedaan kepentingan ekonomi dan budaya pariarkhal dan lainnya tidak pernah diungkap dalam eksplorasi sejarah Islam. Sebenarnya kalau kita mau jujur kondisi tersebut yang seringkali melatarbelakangi lahirnya ajaran agama yang selama ini kita yakini sebagai kebenaran.
Referensi-referensi ke-Islaman yang menjadi rujukan umat Islam seolah-olah telah mengahadirkan semua pesan kegamaan yang hendak disampaikan oleh Tuhan melalui Rasulnya. Sehingga mayoritas umat Islam menganggap bahwa ajaran Islam yang bersumber dari warisan intelektual klasik  adalah ajaran Islam yang final dan tanpa cacat. Persepsi inilah yang kemudian menyebabkan timbulnya kejumudan dan kemandekan dalam pemikiran keislaman.
Oleh karena itu kajian-kajian ke-Islaman dengan teori dan pendekatan kritis menjadi keniscayaan untuk mengungkap fakta-fakta sejarah selama ini tidak pernah diungkap dalam teks-teks klasik. Fakta-fakta sejarah pra-Islam, sejarah Islam pada periode keNabian, Kholafaur Rasyidin, sampai pada periode kodifikasi merupakan objek kajian historis yang harus kita dekati secara konfrehensif.

Islam dalam Lintasan Sejarah

Secara sosiologis, karakter dan linkungan Arab yang dikelilingi padang pasir mempengaruhi watak bangsa Arab. Watak alami pasir, selain susah disatukan juga bersifat tidak stabil sehinggga mereka sulit untuk disatukan. Watak tersebut juga yang membuat mereka menjadi bangsa yang memiliki fanatisme sekaligus fatalisme yang tinggi. Sehinga antara kafilah yang satu dengan yang lain seiringkali terjadi konflik.
Di tengah-tengah bangsa seperti itulah Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk membawa misi Islam. Misi profetik Muhammad secara geografis terbagi menjadi 2 yaitu di Mekah dan di Madinah. Perbedaan geografis ini juga membawa pada perbedaan “nuansa pesan” yang ia sampaiakan pada masyarakatnya.
Pada periode awal keNabian,  Mekah menjadi pusat perdangangan Arab dan beberapa daerah sekitarnya. Sebagiamana yang dikatakan oleh Gibb; “Mekah adalah kota dagang yang ramai dan sibuk, yang hampir memonopoli perdagangan antara lautan India dan mediteranian, mengingatkan kita pada palmyra Yunani”. Kondisi sosial ekonomi masyarakat waktu itu sudah mengalami pergeseran dari  nomad ke maden dari kepemilikan kolektif ke kepemilikan individu. Tetapi ditengah keramaian Mekah dan keberadaannya sebagai salah satu sentral perdagangan dunia, di Mekah belum terdapat pemerintahan atau kerajaan yang meimiliki otoritas tertinggi untuk mengambil kebijakan-kebijakan  strategis dan melaksanakannya. Satu-satunya lembaga pemerintahan di Mekah adalah senat yang disebut mala’a. Senat ini terdiri dari wakil-wakil suku. Disamping itu keputusan-keputusan yang diambil tidak mengikat untuk dilaksanakan secara penuh oleh suku-suku, kecuali keputusan yang dihasilkan oleh semua suku. Salah satu kontribusi penting Muhammad adalah menyempurnakan alat-alat negara yang tentu saja pada masanya masih mempunyai bentuk yang sangat sederhana.

Bagaimana kondisi keberagamaan masyarakat arab waktu itu? 
Penyembahan mereka terhadap berhala sebenarnya tidak begitu terkait degan keyakinan yang mereka peluk dan tidak menjadikannya sebagai pengalaman spiritualitas yang mendalam, lebih-lebih kaum badui yang lebih menjujnjung tinggi humanisme kesukuannya. Ditentangnya kehadiran Muhammad sebagai Rasul tidak lebih karena beliau telah menyerang siytem sosial dan ekonomi, mengajarkan kesetaraan sosial, menganjurkan  distribusi ekonomi dari yang kaya pada yang miskin. Mereka tidak bersungguh dalam menyembah berhala dan tidak memiliki ikatan emosional dengan sesembahannya. Yang mereka khawatirkan adalah ajaran monoteisme murninya yang bisa mengahancurkan aset sosial ekonomi yang mereka kuasai. Disamping itu mereka takut pengakuan mereka terhadap Muhammad akan memunculkan suatu bentuk kekuasaaan ekonomi politik baru dalam masyarakat oligarki yang mereka bentuk selama ini, yang mana nantinya akan membatasi aktivitas sosial ekonomi yang mereka lakukan sebelumnya.
Persoalan-persoalan tersebut yang kemudian menimbulkan tarik menarik kepentingan antara Muhammad dan elit masyarakat Mekah. yang berujung pada “pengusiran” terhadap Muhammad dan umatnya -setelah langkah-langkah kompromis yang mereka lakukan tidak mampu menggoyahkan Muhammad untuk melakukan transformasi sosial di Mekah-.Muhammad kemudian berinisiatif untuk pindah ke Madinah (sebelumnya telah megirim beberapa orang ke Absyania).
Keadaan Madinah sebelum kedatangan Muhammad mempunyai kultur yang tidak jauh berbeda dengan Mekah. Fanatisme kesukuan, konflik antar suku yang disebabkan perebutan lahan ekonomi seringkali mewarnai kehidupan mereka. Berbeda dengan di Mekah., di Madinah waktu itu belum ada pemerintahan sebagaimana senat yang ada di Mekah. Sehingga berbagai konflik yang terjadi sulit untuk dipertemukan jalan tengahnya untuk mewujudkan perdamaian antar suku. Di sinilah peran strategis kehadiran Muhammad sebagai Nabi yang dapat mengkompromokan berbagai perbedaan yang menyebabkan konflik sosial di Madinah.
Pada awal kehadirannya bersama kaum Muhajirin, Muhammad membuat kontrak sosial dengan suku-suku yang ada di Madinah yang mengatur berbagai kebutuhan intraksi sosial diantara mereka. Kontrak sosial ini yang kemudian menjadi titik awal pendirian negara di Madinah. Kepemimpinan Nabi waktu lebih pada wliyah keagamaan, sedangakan pada sektor ekonomi, politik masyarakat Madinah masih lebih memilih para kepala suku sebagai patron mereka. Persoalan pertama yang dihadapi sebagai pemimpin waktu itu adalah inkonsistensi kaum Yahudi terhadap kontrak sosial yang  telah dibuat dan resistensi mereka terhadap ajaran-ajaran Nabi. Bahkan mereka seringkali meneror Nabi dan pengikutnya baik secara fisik maupun psikis. Hal inilah yang kemudian menytebabkan turunnya ayat-ayat alquran yang mencerca kaum Yahudi dan perintah untuk berpindah kiblat dari Baitul Maqdis di Yerussalem ke ka’abah di Mekah.
Selanjutnya, Nabi terus membangun kekuatan sosial politik dengan terus menyebarkan misi profetiknya ke berbagai daerah di Madinah dan sekitarnya.Beliau juga membangun kekuatan militernya dengan membentuk tentara muslim, membangun kekuatan ekonomi dengan melakukan penghadangan (ghazwu) terhadap kafilah dagang kaum kafir quraisy sehingga terjadi perang kecil-kecilan diantara yang memicu perang besar antara kaum kafir quraisy dan pengikut Muhammad atau yang biasa kita kenal dengan perang Badr dan selanjutnya disusul dengan perang-perang yang lain.
Berbeda dengan di Mekah yang lebih menekankan pada aspek teologinya. di Madinah ajaran-ajaran Islam yang disampaikan lebih bersifat keduniawian. Demikianlah Nabi terus melakukan ekspansi politik, agama dan  ekonominya keberbagai daerah hingga akhir hayatnya. dan selama kurang lebih 23 tahun beliau mampu meredam fanatisme kesukuan yang tertanam bangsa Arab.

Periode kholafaur Rasyidin

Sepeninggal  Nabi Muhammad Saw. para sahabat terlibat perdebatan sengit antara kaum Muhajirin dan Anshor tentang siapakah yang berhak dan pantas mengantikan Nabi. Perdebatan yang terjadi di Saqifah Bani Sa’ad tersebut berakhir pada terpilihnya Abu Bakar sebagai Kholifah pertama. Reaksi terhadap terpilihnya ABu Bakar sebagai kholihaf  datang dari berbgai kalangan. Misalnya dari siti Fatimah dan Ali bin Abi Tholib yang tidak mau membaiat Abu Bakar bahkan tidak sedikit diantara mereka yang menyatakan keluar dari Islam. “Konflik” tersebut berujung pada peperangan yang biasa kita kenal dengan perang Yamamah yaitu perang antara Abu baka dengan segenap penentangnya seperti Musailamah al Kadzdzab dan kawan-kawan. Beruntunglah konflik terebut dapat segera diredam dan Abu Bakar mulai melakaukan ekspansi kebeberapa daerah.
Setelah Abu Bakar meninggal pada tanggal 22 Agustus 634 M tampuk kepemimpinan dipegang oleh Umar bin Khottob. Pada masa Umar konflik internal umat Islam kadangkala masih mewarnai pemerintahannya. Salahsatunya di picu oleh ketidaksenangan Bani Umayyah terhadap Umar yang kemudian menghasut seorang ahli pedang Majusi yang sedang mengabdi pada Umar yang bernama abu lu’luah. Dialah orang yang dikemudian hari membunuh Umar. sebelum Umar meninggal dia menunjuk  enam orang sahabat yang berhak dan pantas menggantikannya. Meraka adalah Usman, Ali, Tholhah bin Zubair, Zubair Awwam, Abdullah bin Umar, dan Abdurrahman bin auf. Unsur fanatisme kabilah-lah yang telah mengantarkan Usman bin Affan sebagai Kholifah, setelah melalui proses negosiasi diantara mereka berenam yang dimediasi oleh Abdurrahman bin Auf yang juga berasal dari Bani Umayyah sebagaimana Usman.
Pada enam Tahun pertama pemerintah Usman semua aktivitas dapat berjalan dengan normal, kemajuan dan kemenangan diraih dimana-mana. Dan pada enam tahun kedua Usman telah memasuki usia senja sehingga hampir semua urusan pemerintahan dijalankan oleh sekretarisnya yaitu Marwan bin Hakam. Kesempatan ini digunakan olehnya untuk mengganti beberapa gubernur dan petugas zakat. Mereka digantikan oleh orang-orang yang berasal dari Bani Umayyah. Situasi ini kemudian diperburuk oleh gaya hidup pejabat pemerintahan saat itu yang hedonis. Hal inilah yang menyebabkan ketidakpuasan beberapa kelompok masyarakat yang tinggal di Mesir, Kufah dan Basroh. di Mesir Misalnya banyak rakyat Mesir yang tidak puas dengan kepemimpinan Abdullah bin Abi Sarah bahkan mereka juga menuntut mundurnya Usman sebagai kholifah. Tarik menarik kepentingan inilah yang kemudian berujung pada demontrasi besar-besaran dari Mesir, Kufah dan Bashroh yang berujung pada pembunuhan Usman Bin Affan.
Setelah Usman wafat para sahabat mengadakan rapat menegenai pergantian kholifah. hadir waktu itu Thalhah, Sa’ad bin Abi Waqosh Abu Hurairah, Abdullah bin Umar dan lainnya. Rapat ini kemudian menobatkan Ali bin Abi Tholib sebagai Kholifah penggati Usman bin Affan.  Pada awal pemerintahannya banyak tuntuan dari berbagai kelompok masyarakat terutama dari Bani Umayyah yang menuntut pengusutan pembunuhan terhadap Usman. Di tengah mengalirnya berbagai tuntutan tersebut, Ali membuat kebijakan kontroversia dengan memecat semua pejabat pemerintahan yang berasal dari Bani Umayyah kecuali Muawiyah bin Abi Sufyan yang waktu itu menjabat sebagai gubernur Syam.
Konflik  internal umat Islam pada masa Ali tambah merebak kemana-mana bahkan dikalangan para sahabat sendiri sehingga timbul peperangan antara kubu Ali dengan Kubu Aisyah, Tholhah bin Zubair dan zubair bin Awwam. perang antar sahabat terbut biasa kita kenal dengan perang Jamal yang berakhir pada kemenangan Ali dan terbunuhnya Zubair dan Tholhah. Perang kedua terjadi antara antara Kubu Ali dan kubu Mu’awiyah dalam perang Shiffin. Dalam perang tersebut dicapai sebuah kesepakatan untuk mengakhiri pertikaian diantara mereka dengan jalan Tahkim yang masing-masing kubu menunjuk satu orang sebagai perwakilan mereka. Terlepas dari kesepakatan yang telah dibuat antara Ali dan Muawiyah. dikubu Ali. Terdapat  perbedaan antara mereka yang setuju tahkim dan mereka yang menolak tahkim. Dalam momentum tahkim itulah diputuskan  pemecatan Ali sebagai Kholifah dan digantikan oleh Muawiyah. Hasil tersebut merupakan bagian dari telikungan Amr bin Ash -sebagai wakil dari Muawiyah-terhadap terhadap kesepakatan yang dibuat dengan Abu Musa al Asyari untuk memecat keduanya dari jabatan mereka masing-masing.
Mulai saat itulah terjadi tragedi besar (al-fitnah al Kubro). Umat Islam yang baru 30 tahun ditinggal Nabi sudah tercabik-cabik dalam kelompok. Namun perpecahan tersebut masih terbatas pada perpecahan politik tetapi dalam perjalanan sejarahnya kemudian menimbulkan perbadaan pendapat dalam persoalan teologi.

Periode Tadwin

Tradisi kritik dalam Islam sebenarnya bukanlah hal baru karena kelahirannya telah mengandung unsur kritik terhadap kondisi masyarakat Arab Jahiliyah yang sangat membelenggu keyakinan, ekonomi maupun budaya.
Dalam tradisi keilmuan Islam sebenarnya sudah cukup lama mengenal tradisi kritik yaitu sejak abd 3 Hijriyah. Hal ini dilakukan sebagai respon terhadap warisan intelektual abad sebelummnya. Tradisi keilmuan Islam, secara dokumentatif dimulai sejak abad ke II H, ditandai dengan dibukukannya hadits Nabi pada masa kholifah Umar bin Abdul Aziz (101 H). Kemudian disusul karya yang lain seperti kitab Muwattho’ karya Imam Malik bin Anas (179 H). Sejak itulah geliat keilmuan umat Islam terus berkembang dan menemukan momentum keemasannya padaabad ke 7 H. pada masa kholifah  Al Makmun.
Banyaknya karya keIslaman yang cukup lengkap untuk zamannya ternyata membuat generasi selanjutnya terbuai dan terlena dengan apa yang telah dihasilakan dan dimilikinya. Bahkan dikalangan mereka menyikapi  karya-karya tersebut sebagai hal yang sudah selesai dan final. Asumsi inilah kemudian yang menyebabkan Hilangnya produktivitas kaum muslimin untuk melahirnya karya-karya baru dalam study keIslaman. Karya-karya yang hasilkan hanya sebatas reproduksi terhadap apa yang telah ada.
Tradisi inilah yang kemudian terus dilestarikan sampai sekarang ini. bahkan penyikapan mereka terhadapan mengarah pembakuan pensucian terhadap karya-karya yang dihasilkan pada abad ke 2-7 H tersebut. 
Dalam situasi seperti inilah tradisi kritik dalam Islam perlu dihidupkan kembali untuk memberikan penyegaran terhadap pemahaman keIslaman yang selama ni telah mengalami pembekuan dan pembakuan bahkan pensucian terhadap warisan intelektual klasik. Kehadiran Muhammad Arkound, Hasan Hanafi, Abed al Jabiri dan tokoh Islam kritis lainya, telah memberikan prespektif baru dalam melihat  tradisi keIslaman.

 

Kritik Nalar untuk Penyegaran

Kritik nalar dalam istilah filsafat adalah kritik epistemologi yaitu kritik terhadap metodologi yang melahirkan dan menyusun struktur ilmu. Munculnya kritik nalar merupakan respon terhadap kebekuan study Islam dan ketidakpuasan terhadap metodologi kajian Islam yang berkembang selama ini. Kritik nalar dalam konteks ini ditujukan pada seluruh bangunan keilmuan Islam yang dilihat sebagai produk sejarah pemikiran keagamaan biasa yang memiliki dimensi relativisme. Analisis epistemelogis dengan mengedepankan kritik harus diterapkan kepada teks suci maupun profan, historis maupun filosofis, teologis maupun yuridis, terlepas dari kesusukannya maupun status kognitifnya dalam seguah tradisi keyakinan, pemikiran maupun pemahaman. Muara dari proyek kritik nalar adalah memecahkan postulat keagamaan yang selama ini berada dalam wilayah “tak terpikirkan”  yang kemudian menjadi “tidak dapat dipikirkan”
Dalam konteks kritik nalar, Islam dan sekian tradisi keilmuan yang dimilikinya diposisikan sebagai obyek study yang mengedepankan rasionalitas dan obyektivitas dalam mengkaji Islam. Untuk memperoleh pandangan yang obyektif mengenai sebuah kajian ilmiah, sikap menjaga jarak antara subyek dan obyek yang diteliti menjadi keniscayaan. Hal ini diperlukan untuk menjaga kejernihan atas materi  kajian sebagaimana adanya, tanpa ada pengaruh dari perasaan, emosi maupun kepentingan dari pihak luar.
Dari sinilah al Jabiri hadir menawarkan tiga jenis pendekatan yang memungkinkan tumbuhnya tingkat obyektivisme dalam kajian tradisi. Pertama Metode strukturalis. Mengkaji tradisi melaui metode ini berangkat dari teks-teks yang dilihat sebagaimana adanya dan meletakkannya sebagai sebuah korpus terbuka, satu kesatuan sistem. Hal penting yang harus dilakukan adalah melokalisir pemikiran produsen teks (penulis, sekte atau aliran tertentu) pada satu fokus. Kedua, Analisis sejarah. Pendekatan ini berupaya untuk menghubungkan pemikiran pemilik teks dengan lingkup sejarahnya, ruang lingkup budaya politik dan lain sebagainya. Hal ini penting dilakukan karena dua hal: keharusan memahami historisitas dan genealogi pemikiran sekaligus untuk mengetahui apa yang terungkap dalam teks (said), apa yang tidak terkatakan (not said), apa saja yang dikatakan namun tidak pernah terungkap (never said). Ketiga, Kritik Ideologi. Pendekatan ini dimaksud untuk mengungkap fungsi ideologis, termasuk fungsi sosial-politik yang dikandung dalam sebuah teks.
Tiga pendekatan tersebut saling terkait satu sama lainnya dan berguna untuk merekontruksi tradisi dalam bentuk yang baru dan pola hubungan yang baru serta menjadikannya lebih kontekstual dalam pemahaman yang rasional.

Jawaban paradigmatic Pergerakan
terhadap globalisasi-neoliberalisme

sekalipun peran GM belum menjadi kekuatan transformasional secara komprehensif, lebih sebagai pendobrak pintu perubahan, lacakan sejarah social di Indonesia menunjukkan bahwa tidak ada satu perubahan pun yang tidak melibatkan kekuatan mahasiswa. Mahasiswa telah menjadi salah satu ikon perubahan penting dalam sejarah social masyarakat. Bahkan secara heroik mahasiswa disebut sebagai agen perubahan social (agent of social change). Karenanya mendiskursuskan GM dalam perubahan selalu relevan. Apalagi dalam kontek transisional saat ini, yang menyembulkan ketidak pastian arah transisi. Dalam pengertian seperti itu, mafhum mukholafahnya, dibutuhkan reorientasi bahkan reparadigmatisasi GM ketika terlihat daya dorong perubahan GM melemah.

Memahami epistemology GM: belajar pada sejarah

GM merupakan salah satu manifestasi gerakan sosial baru. Secara histories, mengacu ke asal usul gerakan antisystem, gerakan sosial  muncul karena kegagalan tiga bentuk gerakan, yaitu gerakan pembebasan nasional, gerakan revolusi yang diageni kalangan marxis, serta gerakan reformasi (parlementarian)  yang diageni kalangan sosdem, ketiga gerakan ini memusatkan pada gerakan untuk menguasai negara. Hanya saja dalam sejarah, tidak satupun yang berhasil dengan sempurna. Walaupun negara telah menjadi medan revolusi (seperti Rusia, Kuba) kalangan sosdem telah memiliki kekuatan parlementer, atau pola gerakan ekstraparlementarian telah meletakkan investasi demokrasi, dan kemerdekaan yang diraih banyak negara telah tercapai, namun kesemuanya gagal mewujudkan utopia transformasi masyarakat ideal. Kegagalan inilah yang melahirkan berbagai bentuk garakan social baru (new kinds of social movement) baik yang memiliki karakter kelas maupun bukan.
Dengan kata lain, GM lahir karena kebuntuan-kebuntuan structural-kultual, dan konstitusional lembaga-lembaga politik, social, dan hokum yang ada. Sementara itu, organisasisosial non-pemerintah yang ada, terjebak pada konservatisme, tidak cukup responsive terhadap perkembangan social yang ada, atau bahkan terkooptasi kekuasaan. Pada sisi yang lain, mahasiswa memiliki peralatan intelektual sehingga mampu membaca kontradiksi social yang ada. 
Peta Analisis Globalisasi ;
  1. Analisis globalisasi sebagai proses ekonomi,
  2. Analisis globalisasi sebagai proses politik;
  3. Analisis globalisasi sebagai proses cultural.

Background analysis kelahiran PKT ;
Paradigma kritis lahir sebagai kritik terhadap 3 hal dalam konteks masyarakat barat ;
  1. PK mengkritisi atau membongkar irrasionalisme masyarakat barat yang terjebak pada konsumerisme hingga pada saat kebutuhan materialisme melimpah, mereka kehilangan kemanusiaan.
  2. PK lahir dari kritikan terhadap mekanisme atau tradisi sains yang positivistic.
  3. PK lahir dari struktur social-politik dimasyarakat yang lebih membelenggu pada masyarakat (penindasan dan penghisapan atas manusia oleh manusia).

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana PKT ini kita baca dlm konteks masyarakat Indonesia ?
(maaf jawaban belum bisa ditulis disini)

PMIIà gagal membongkar dominasi ideology à ideology yg dominan membuat terkonstruksnya kesadaran palsu –ending-- à kehilangan arah gerakan.
(ingat) PMIIàGerakan Kultural (bukan gerakan politik)

Jawaban PKT  (Empat Pilar Pergerakan):
  1. Format Gerakan PMII harus kuat pada gerakan Massa (massa-aksi). Gerakan massa-revolusioner untuk ‘merebut negara” sebagai medan makna politik dan meletakkan masyarakat sebagai kekuatan ekonomi politik.
  2. Gerakan intelektual untuk merebut alat produksi intelektual dari the dominant ideology sebagai instrumen mengambil kepemimpinan gagasan (Idea of leaders). Gerakan ini harus mampu dan efektif sebagai counter-hegemony terhadap gagasan-2 neo-liberal.
  3. Gerakan Pers untuk merebut kepemimpinan propaganda gerakan dan diseminasi serta sirkulasi informasi.
  4. system kaderisasi yang mapan sebagai salah satu supporting system mendesak untuk materialisasi format gerakan diatas.

0 komentar:

Posting Komentar