DEKONSTRUKSI-REKONSTRUKSI EKSISTENSI ASWAJA PMII

Posted by azzam Label:


Dari Aswaja sebagai Ideologi Menuju  Aswaja sebagai
Manhaj al- Fikr
Oleh : Sunarto

Dalam pemaknaan nilai keagamaan-kebangsaan pra wacana dan diskursus tentang reinterpretasi, reformulasi dan reaktualisasi aswaja yang mengarah pada rekonstruksi internalisasi eksistensi aswaja dalam institusi  PMII menjadi niscaya diajukan setelah munculnya asumsi ketidakmampuan akan setting paradigma pemaknaan Aswaja yang selama ini dikembangkan tidak lagi mampu menjawab arus transformasi diera Modern-apabila diera Neo-Liberal seperti yang ada pada sast ini. Paling tidak, ketidak mampuan setting yang dikembangkan di PMII disebabkan formulasi pemaknaan yang sangat sederhana, dan bahkan terkesan sangat manipulatif. Hal ini disadari, karena pemaknaan Aswaja  muncul dalam kondisi yang disesuaikan dengan latar belakang sosio-antropologis yang melatari pengungkapan makna tersebut.
Asumsi yang muncul ditengah wacana public PMII tak urung melahirkan gugatan kelompok-kelompok pemikiran untuk melakukan dekonstruksi-rekonstruksi terhadap seluruh dimensi yang terkait dengan ke-Aswajaan. Bagaimanapun, Aswaja adalah merupakan dokumen historis atau sebuah teks yang baik secara ontologism dan epistemologis menjadi sebauah diskursus yang layak diperdebatkan diruang public. Perspektif ontologis, Aswaja tidak lebih merupakan formulasi pemikiran yang disetting oleh tokoh-tokoh muslim era skolastik melalui rekayasa intelektual yang dimilikinya. Karenanya, kebenaran formulasi, esensi maupun substansi yang dimilikinya bersifat relative, yang pada saat tertentu niscaya diperlukan pembacaan secara dekonstruksi-rekonstruksi.
Dari sisi epistemologis, Aswaja tidak lebih merupakan fakta histories atau dokumentasi sejarah yang dapat dilihat sebagai sebuah wacana yang diyakini terintervensi oleh keterlibatan manusia yang menjadi juru bicara dalam pengungkapan teks Aswaja tersebut. Oleh karena itu, pemahaman atau pengambilan pada sebuah teks Aswaja yang menegasikan asumsi-asumsi social yang melingkupi pengungkapannya, sangat rentan melahirkan distorsi informasi atau pemaknaan, bahkan memunculkan kesalahpahaman.
Dari perspektif filosofis tersebut, melahirkan keniscayaan untuk selalu bersikap kritis terhadap teks-teks yang berisikan pemaknaaan terhadap Aswaja, karena bila muncul pemaknaan yang terpisah darimkonteks sosio-historisnya, akan berakibat hilangnya dimensi-dimensi psikologis moral teks yang hilang. Apalagi, Aswaja sebagai Aswaja yang bergulat dengan berbagai kehidupan social makro yang sudah terstruktur dala kodifikasi, sehingga penyempitan, pembatasan bahkan pengeringan terhadap makna yang sebenarnya dikehendaki oleh pencetusnya akan sulit dicapai.
Dalam institusi PMII, urgensitas dekonstruksi-rekonstruksi terhadap pemaknaan  dan reaktualisasinya ditubuh PMII niscaya dikedepankan agar lebih mampu mengkondisikan diri para pengikutnya dalam menghadapi berbagai tantangan modernitas dan Neo-Liberal. Sejak digulirkannya gerakan liberasi pemikiran ditubuh PMII, berangkat dari adanya pilihan PMII terhadap dialektika akan model gerakan yang merespon realitas kebangsaan dan keagamaan serta kemanusian diera seperti saat ini. Liberasi pemikiran dimunculkan sebagai paradigma pergerakan yang pada akhirnya tidak ada lagi model dikotomi gerakan di PMII, yaitu gerakan wacanis dan praksis, karena keduanya selalu saling terkait dan mendukung. Hal itu karena selama ini terjadi dikotomi gerakan jalanan dan gerakan pemikiran. Gerakan jalanan lebih mengedepankan gerakan praksis dengan terjun langsung pada basis-basis masyarakat yang menjadi korban daripada hasil penindasan dan eksploitasi. Disisi lain, gerakan pemikiran lebih mengedepankan penguatan dan pemberdayaan internal melalui eksplorasi teori, kajian, termasuk penawaran konsep kepada pihak-pihak yang mempunyai otoritas untuk menentukan kebijakan public.
PMII melahirkan sikap kritis terhadap berbagai konsep, formulasi atau konstruksi yang diajukan sebagai mainstream dalam membangun paradigma pergerakan. Aswaja menjadi salah satu wacana yang diperbincangkan, dimana bagi PMII terdapat keniscayaan untuk mereformulasikannya. Urgensitas pembaharuan pemikiran ke-Aswajaan di PMII diilhami paling tidak oleh dua factor: Pertama ;  dengan memegang Aswaja sebagai Ideologi-dogmatis yang selalu berpijak pada karakter sejarah teologi islam masa lali dan selalu dipertahankan di PMII, akan berimplikasi terciptanya ruang pemikiran PMII dengan karakter sejarah staris-romantisis dengan ruang dinamika kesejarahannya selalu terhenti pada perdebatan yang bercorak transcendental-metafisik serta mengesampingkan realitas transcendental-empirik. Kedua ; faham Aswaja yang selama ini berkembang dalam pemaknaan tradisionalnya, serba tertutup dan sangat menekankan aspek keseimbangan, akan melahirkan sikap toleransi berlebihan, bahkan membuat PMII tidak progresif dalam pertarungan diluar, bahkan terjadi saling sikat-menyikat antar sesame sahabat.
Tinjauan histories dan eksistensi dalam pemaknaan Aswaja dalam institusi PMII yang selama ini diajukan, nampaknya mengekor pada bentuk-bentuk pemaknaan yang telah diberikan oleh mantan bapaknya (NU). Berkutatnya pemaknaan Aswaja PMII dengan Aswaja NU setidaknya dilatari oleh dua factor : Pertama ; sebelum tercetusnya piagam Murnajati, PMII menjadi organisasi semi otonom NU yang menuntut untuk menyelaraskan kebijakan institusi PMII dengan NU. Kedua ; mayoritas warga PMII berbasis pendidikan pesantren, yang dipandang sebagai wahana pengkaderan NU. Implikasinya, ikatan cultural emosional histories bermuara terhegemoninya kader PMII oleh pemikiran tradisional pesantren. Sehingga PMII tidak mempunyai setting pemaknaan yang baku dan kongkrit. Ironisnya, NU sendiri yang menjadi sandaran PMII dan organisasi-organisasi yang menjadi underbrouwnya juga tidak jelas setting pemaknaan terhadap Aswaja. Dan itu tetap berlangsung hingga munculnya cendikiawan-cendikiawan muda NU progresif dan rekonstruksionis yang mencoba memformulasikan pemaknaan yang baku terhadap Aswaja.
Dalam catatan-catatan lembaran sejarah NU, diketemukan berbagai bentuk pemaknaan terhadap pemaknaan Aswaja baik secara institusional dan personal terdapat banyak bentuk-bentuk determined dan terkesan amat sangat eksklusif. Misalnya saja, ilustrasi Hasyim Asy’ari yang memaknai Aswaja sebagai golongan yang menganut imam madzhab empat atau golongan yang umat muslim yang menganut ajaran-ajaran dari salah satu madzhab empat, mengikuti salah satu dari Imam Asy’ari dan Abu Manshur al-Maturidi, al-Ghazali dan al-Junaidi dalam bidang tasawuf. Definisi yang lain, dimunculkan oleh Syaifuddin Zuhri dengan mengutip pendapat al-Asqalani mendefinisikan dengan empat pengertian. Pertama ; golongan yang setia pada kepala Negara yang telah diangkat dan dibai’at kepadanya. Kedua ; jama’ah yang berarti ushul fiqh, yakni jama’ahnya para ulama yang ahli dalam agamanya, golongan yang perlu diusahakan ijma’nya untuk memberikan suatu hokum yang tidak terdapat didalam al-Qur’an maupun Hadist. Ketiga ; jama’ah yang berarti sahabat Nabi yang dianggap pelopor dan pembela agama Islam. Keempat ; jama’ah umat islam secara keseluruhan dalam arti sosiologi dan budaya.
Lain halnya dengan Usman Manshur mendefinisikannya, Aswaja adalah suatu golongan yang berlandaskan pada Sunnah dan Jama’ah. Sunnah artinya, suatu langkah yang cocok dengan kata-kata Nabi  beserta amal dan ketetapannya. Sedangkan Jama’ah diartikan sebagai golongan yang dikehendaki oleh uraian hadis yang mengilustrasikan jama’ah dalam pemaknaan sosiologis, politis dalam terminology ahli fuqaha’.
Pergeseran pemaknaan Aswaja di tubuh NU yang secara otomatis terdapat di tubuh PMII, baru bisa mengalami keterbukaan diruang public setelah kemunculan Said Aqil Sirad. Bagi Aqil, Aswaja diformulasikan oleh Asy’ari terkesan amat sederhana dan parsial bahkan manipulatif, sehingga redefinisi sebagai suatu keniscayaan. Aswaja tidak lebih sebagai bentuk identifikasi terhadap komunitas muslim yang mengikuti jalannya Nabi, para sahabat dan pengikut sesudahnya, yang dalam berikap dan bertindak selalu mengedepankan sikap tawasuth (moderat), tawazun (Penuh pertimbangan), ta’adul (keadilan) dan tasamuh (toleransi) serta amar ma’ruf nahi mungkar.
Dari berbagai bentuk pemaknaan terhadap Aswaja seperti termaktub diatas, nampak sekali konstruksi Aswaja dengan berbagai tipikal tertentu :
Pertama ; masih berkisar pada orientasi fiqh minded. Definisi ini, berimplikasi pada eliminasi peran Aswaja yang harus dimainkan kedalam konteks pemikiran keagamaan macro, semisal ; teologi, filsafat dan tasawuf maupun pemikiran sosio-antropologis – politik, ekonomi, social dan budaya.
Kedua ; meski juga menyentuh dimensi tasawuf dan aqidah, tetapi dengan hanya membatasi pada dua tokoh besar dan pengikutnya, sulit untuk mengaktualisasikan kedalam konteks ruang dan waktu yang berbeda. Bagaimanapun juga, kelompok-kelompok pemikiran dalam bidang tasawuf maupun aqidah sangat beragam dengan keistimewaan dan kekurangan masin-masing. Karenanya. Determinasi akan sulit melihat sisi kekurangan dan menonjolkan aspek kelebihan sebagai akibat tidak adanya instrument referensif untuk mengkomparasikan dengan pemikiran lain.
Ketiga ; definisi masih amat general, sehingga sulit untuk membatasi wilayah-wilayah yang dicakupnya. Definisi Jama’ah yang dalam arti sosiologis bermakna masyarakat Islam secara umum, melahirkan suatu pemaknaan bahwa seluruh umat muslim adalah wajib ber-Aswaja, tanpa memandang tipikal pemikiran yang dibawanya.
Keempat ; pemaknaan yang lebih mengedepankan tinjauan tasamuh, ta’adul, tawasuth dan tawazun serta amar ma’ruf nahi mungkar sebagai prinsip utama, dengan tetap tidak menghilangkan ciri bermadzhab akan melahirkan suatu bentuk pemaknaan yang tumpang tindih. Makna Aswaja sebagai Manhaj al-Fikr dengan memakai referensi prinsipil diatas, akan terjebak pada apa yang dinamakan “Had bi al-had” ketika makna tersebut mencoba dikorelasikan dengan pemaknaan madzhab yang juga sebagai Manhaj al-Fikr.

Tinajauan Kritis Kelahiran Aswaja
Proses internalisasi Aswaja di NU yang pada akhirnya dikembangkan oleh PMII, dapat dirunut akar sejarahnya semenjak kelahiran Nu sebagai organisasi social-keagamaan di Indonesia. Dalam sejarah peradaban Islam ke-Indonesian, kelahiran NU merupakan bagian integral dari proses gambaran Islam Ke-Indonesian pada khususnya dan pergerakan Islam di dunia pada umumnya. Berdirinya NU dengan Aswajanya, dapat dirunut pada keanekaragaman aktifitas-aktifitas yang terjadi sebelum berdirinya NU. Aktifitas tersebut, dapat diklasifikasikan sebagai aktifitas cultural  untuk bangsa dan keprihatinan keagamaan yang terjadi pada dunia muslim. Keprihatinan muncul setelah banyaknya cendikiawan-cendikiawan muslim bersentuhan dengan dunia  luar. Masyarakat Indonesia khususnya Jawa dan Sumatera yang bersinggungan dengan masyarakat Timur Tengah, terlebih Makkah sejak abad 16 dan 17 M. Pada awalnya mereka datang hanya untuk keperluan Haji dan sebagian kecil dari mereka dari kelas berpendidikan dan cendikiawan-cendikiawan hokum, terlebih lagi Timur Tengah yang pada saat itu sedang terjadi konflik keagamaan cukup tajam, antara kelompok tradisional dan puritan.
Berbagai ilustrasi historiografi Islam mengungkap bahwa KH. Wahab Hasbullah sepulang dari Mekkah, bermaksud mempersatukan umat Islam kedalam satu wadah organisasi keagamaan. Karena meskipun saat itu berdiri Sarekat Dagang Islam (SDI) yang kemudian menjadi Serikat Islam (SI) bahklan Wahab Hasbullah sebelum kepulangan beliau dari Mekkah ia dikenal sebagai aktifis SI cabang Mekkah, dan menjadi ketua umumnya. Ia meyakini SDI tidak mungkin diperhatikan dengan banyaknya tokoh-tokoh SI yang didirikan HOS Cokro Aminoto ditangkap oleh Belanda akibat munculnya pemberontakan Hasan Lele di Garut, dan berimplikasi banyaknya umat Islam yang meninggalkan SI.
Obsesi Wahab dilatari oleh munculnya kebiongungan umat Muslim untuk menyalurkan aspirasi religiustiknya kedalam satu wadah di satu sisi, dan penggalangan solidaritas untuk mengusir imperium Barat di sisi lain. Dimana tanpa organisasi sulit untuk merealisasikan obsesi tersebut. Pengalangan solidaritas bagi Wahab bukan berarti harus ditempuh dengan cara-cara penolakan radikal terhadap tradisi religius yang telah menyatu didalam jiwa masyarakat muslim saat itu, misalnya anti Madzhab, taqlid dan menolak praktik-praktik yang diyakini mengundang khurafat maupun bid’ah. Dari sinilah dapat dimengerti bahwa ASWAJA yang dilahirkan dengan pemaknaan yang sempit sebagai akibat dari kondisi yang ada saat itu.
Formulasi ASWAJA tidak lebih untuk membentengi reduksi pemikiran muslim terhadap penerimaan kehidfupan bermadzhab dalam menempuh penyelesaian hukum yang terjadi ditengah-tengah masyarakat. Hal ini juga dibuktikan dengan lahirnya komite Hijaz untuk menemui Abdul Aziz ibnu Su’ud di Mekkah yang salah satunya adalah tidak diberantasnya tradisi bermadzhab didalam fiqh.
Bagi kelompok-kelompok pemikiran pro-Wahab penolakan anti bermadzhab sebagai langkah yang justru dapat menghilangkan misi suci penggalangan solidaritas. Dengan mengungkit-ungkit kehidupan bermadzhab, taqlid dan masalah-masalah furu’iyah lainnya, solidaritas tidak mungkin terwujud dan persatuan Islam akan menjadi slogan belaka, sehingga semakin menguntungkan pihak penguasa. Melalui alasan-alasan diatas, lahirlah formulasi ASWAJA sebagai ideologi NU dari hasil olahan KH. Hasyim Asy’ari. Namun dalam perkembangan selanjutnya, NU telah keluar dari pembentukan awalnya. NU tidak lagi hanya mengurusi masalah keagamaan tetapi juga mengurusi persoalan politik, sosial, dan budaya. Karenanya determinasi makna justru akan membuat NU semakin sulit menjawab tantangan yang dihadapi oleh pengikutnya atau masalah kebangsaan. Sehingga systemic reconstruction terhadap ASWAJA dan dimensi-dimensi yang dibawanya sebagai suatu keniscayaan.
Determinasi makna yang secara esensial berubah menjadi ideologi di NU, melahirkan corak pemikiran fiqh-sentris dan menegasikan aspek-aspek Islam lainnya. Titik akhirnya, fiqh diakui sebagai keutuhan Islam bukan malah menjadi salah satu dari dimensi Islam yang harus dires[pon secara dogmatis, literalis dan tanpa kritik. Implikasinya akan memunculkan satu pemahaman eksklusif dan dogmatis terhadap kelompok-kelompok dibawah naungan NU.
Di PMII sendiri, terdapat kelemahan mendasar yang nyaris belum terpecahkan didalam setting paradigma kepribadian kadert PMII yaitu kader yang terhegemoni oleh sikap dan semnagat yang eksklusif. Paling tidak, realitas empirik-fefnomenologis tersebut sebagai bias dari terkontaminasinya kepribadian kader oleh sistem pendidikan pesantren yang masih sangat menekankan paham ke-Aswaja-an dalam pemaknaan tradisional-konservatif, rigid dan normatif tanpa melihat tantangan hari ini – khususnya Neo-Libiberalisme. Doktrin Aswaja yang eksklusif, tertutup dan sangat konservatif menekankan dimensi keseimbangan yang tercover dalam sistem pendidikan pesantren berimplikasi pada terciptanya sikap toleransi yang berlebihan dan membabi-buta secara institusional. Ending point dari aspek negatifnya tidak jarang kader yang inferior complex, artinya kader hanya berani melakukan gebrakan-gebrakan inofatif didalam lingkungan internal tetapi sulit dan minder ketika memasuki lingkungan eksternal makro untuk berani bersaing dengan lingkungan luar.

Kritik-Historis Filosofis ASWAJA
Untuk mereformulasi Aswaja dan eksistensinya dalam institusi PMII, maka langkah awal harus mendefinisikan Aswaja lebih dulu secara konprehensif. Karena tanpa pemaknaan yang jelas sulit mengetahui konstruksi substansial Aswaja. Teori ini pernah diajukan Ibnu Taymiyah dengan mendefinisikan Aswaja sebagai instrumen penting untuk mencapai hasil secara konprehensif terhadap obyek yang didefinisikan, meski definisi tidak lebih hanya sebagai ilustrasi konkret tanpa menunjuk hakikat yang didefinisikan.
Reformulasi pemaknaan Aswaja harus merujuk pada nalar sejarah yang membentuknya. Karena tanpa nalar sejarah sangat mungkin akan menghilangkan dimensi-dimensi moral psikologis wacana yang sebenarnya. Sebenarnya makna Aswaja seringkali dapat dijumpai dalam berbagai literatur sejarah peradaban Islam. Namun, berbagai makna nampaknya juga mendeterminasi substansi Aswaja itu sendiri, sehingga reformulasi pemaknaan sangat mungkin diajukan. Upaya-upaya reformulasi Aswaja dapat dilakukan kritik filosofis yaitu kritik ontologis, epistemologis dan aksiologis.
Aswaja yang dipopulerkan oleh Imam Asy’ari sebenarnya tidak pernah menyebut Ahlis Sunnah wal Jama’ah untuk mengidentifikasi aliran-aliran pemikiran baru yang dilahirkannya. Dalam dua karya besarnya al-Ibanah fl Ushul al-Dinayah dan Maqolah al-Islamiyah, Asy’ari menyebut kelompoknya sebagai Ahlis Sunnah wal Hadits, Ahlis Snnah wal Ashab al-Hadits, Ahlis Sunnah wal Istiqomah, Ahlul Istiqomah, Ahlul Jama’ah dan Ahlul Haq wa Sunnah. Istilah-istilah tersebut justru dimunculkan oleh Abu Laits as-Samarqandi yang wafat tahun 983 H ketika memberi komentar atas karya Imam Hanafi, Fiqhul Akbar. Sebelum itu, Imam Ahmad bin Hanbal juga tidak menyebutnya tetapi dengan terminologi Ahlis Sunnah wal Jama’ah wal Atsar. Pada dasarnya merupakan kelompok pemikiran teologi yang lahir sebagai bias dari konflik-konflik yang selalu muncul di internal muslim pasca wafatnya Nabi. Karenanya Aswaja bukan hanya terkait dengan Mu’tazilah, tetapi terkait dengan seluruh firqoh muslim yang pernah berkembang. Sehingga rekonstruksi Aswaja harus merujuk pada proses awal lahirnya konflik internal Islam.
Munculnya konflik datang secara bersamaan dengan wafatnya Nabi yang bagaimanapun harus diakui sebagai simbol kekuatan Islam yang berimplikasi pula pada hilangnya otoritas kenabian sebagai simbol kekuatan Islam. sehingga persoalan penggantinya menjadi polemik terlebih siapa yang berhak mengganti posisi Nabi. Pada saat itu, muncul tiga kelompok besar umat Islam yang masing-masing mengkalim paling berhak atas kekhalifahan – Muhajirin, Anshor dan pengikut setia Ali.
Muhajirin mengakui bahwa kekhalifahan sebagai hak progresif Umat Quraisy; sebagai kabilah yang melahirkan Nabi dan kebangsaan Nabi. Quraisy juga merupakan kabilah terbesar diantara kabilah-kabilah yang ada didunia Arab dengan mengklaim bahwa mereka telah fatwa dari Nabi dengan ungkapannya “ al-Aimmah min Quraisy”. Anshor juga mengklaim lebih berhak menduduki jabatan tersebut, karena mereka mengaku sebagai penolong Nabi dan Sahabat-sahabatnya disaat menghindari konflik dengan orang-orang kafir Quraisy, mengasihi kaum Muhajirin di Madinah, serta membagi harta benda mereka dengan penuh keikhlasan dan berpartisipasi secara aktif dalam mengembangkan Islam.
Sedangkan pengikut setia Ali yang pada akhirnya melahirkan Syi’ah juga menyakini Ali dan keturunannya lebih berhak atas kekhlifahan pasca Nabi melalui nash-nash pewarisan Nabi. Bertepatan dengan hari kewafatan Nabi pada hari senin 9 Juni 633 M / 12 Robi’ul Awal 11 H, kaum Anshor telah mendahului mengadakan pemilihan kekhalifahan. Sebagaimana diketahui Anshor berasal dari dua suku ; khazraj dan Aus. Khazraj dibawah kekuasaan Saad bin Ubadah (Abu Tsabit) yang dibantu oleh Hubbah al-Mundir bin Jamuh al-Anshori al-Khazraji al-Anshori as-Salimi (Abu Umar) dan Aus dibawah kekuasaan Usaid bin Hudair. Dari pihak Quraisy (yang datang kemudian) diwakili  oleh Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Abu Ubadah bin Jarrah.
Konflik kekuasaan yang terus terjadi di internal secara berkelanjutan setelah wafatnya Abu Bakar yang secara otomatis harus segara mungkin mencari penggantinya. Yang pada akhirnya, Umar terpilih menjadi penggantinya dengan tidak lepas dari surat sakti yang dibuat oleh Abu Bakar sebelum wafatnya untuk menggantikan posisi kekuasaannya. Sehingga menimbulkan rasa ketidakpuasan dari kelompok yang berada diluar kelompoknya Umar-khususnya kelompoknya Ali dan Thalhah bin Zubair. Konflik kepentingan semakin nampak nyata, dalam pemilihan pengganti Umar. Dimana ia menyerahkan mekanisme pemilihan pada formatur yang dipilih olehnya.
Melalui formatur yang dibentuk oleh Umar bin Khattab, ini diasumsikan akan membangunkan luka lama dan ketersinggungan akibat ditaklukkannya kekuasaan Bani Umayyah oleh Bani Hasyim. Sedangkan pada wilayah yang lain, prinsip untuk mempertahankan otoritas kepemimpinan Ka’bah atas turunan Bani Hasyim juga sangat mempengaruhi Ali bin Abi Thalib dan Zubair bin Awwam. Dapat dibayangkan betapa alotnya proses pemilihan, meskipun pada akhirnya keluarga Bani Umayyah- yaitu Usman bin Affan berhasil menduduki kursi kekuasaan tertinggi sebagai khlifah menggantikan Abu Bakar.
Lebih fatal lagi, Usman dalam menjalankan roda kepemimpinnannya mempunyai beberapa kelemahan mendasar. Sedangkan Usman sendiri tidak mempunyai kemampuan menahan desakan-desakan darai internal Umayyah yang berkepentingan meningkatkan pengaruh, dan memperbesar peranan mereka sendiri dalam lingkungan masyarakat islam yang baru tumbuh dan berkembang. Apalagi setelah terjadinya kesenjangan sosial-ekonomi yang semakin membesar dan melebar anatara klan Bani Umayyah dan Bani Hasyim.
Konflik internal semakin tajam setelah munculnya Abdullah bin Saba’ yang berusaha mengadu domba antara sesama sahabat, dan bermuara pada terbunuhnya Usman bin Affan. Kematian Usman membuka terjadinya konflik terbuka antara Mu’awiyah dan Ali. Sedangkan Ali lebih gagah dan unggul dibidang militer,tetapi konsisten untuk memegang teguh persatuan dan kesatuan umat secara umum, menjadikan Ali mau melakukan kompromi dengan pihak Mu’awiyah tanpa memikirkan implikasi politis dikemudian hari.
Dengan memanfaatkan kelemahan Ali, ia kemudian secara formal dapat menggeser keduidukan Ali sebagai khlifah yang berarti pula menyebabkan kehilangan legitimasi politik dan kepercayaan masyarakat Islam saat itu. Implikasinya, pendudkung Ali dari kelompok radikal melancrkan protes dan membentuk kubu yang netral- yang kemudian dikenal dengan Khawarij. Khawarij terus melancarakan dan menerrapkan program sosial politik dan puritan, dan demi mencapai tujuan yang diimpikan, Khawarij melancarkan rencana pembunuhan terhadap tokoh-tokoh yang bertikai,termasuk Mu’awiyah dan Ali dan Amar bi Yasir. Tetapi yang dibunuh hanya Ali dengan tangan Abdurrahman binal-Muljam.
Doktrin tersebut mendapat reaksi sangat keras dari pengikut setia Ali, karena mereka sangat gencar mempublikasikan Ali bin Abi Thalib, yang mengakibatkan adanya ketidak sediaan Ali mengusut dan membunuh Mu’awiyah dan pengikutnya. Dari sinilah, mulai muncul bibit-bibit perpecahan umat Islam yang mulai terlembagakan yaitu pengikut Ali (Syi’ah )dan penentangnya (Khawarij).
Munculnya dua kelompok yang pada awalnya dari muslim yang pro-Ali, dan pada akhirnya terjadi penolakan terhadap keputusan Ali yang menugaskan Abu Musa al-Asy’ari untuk menandingi Amr bin Ash. Kelompok Syi’ah tetap berjuang dibawah komando Ali, dan Khawarij menyatakan oposisi Ali, akibat kurang puas dengan keputusan yang diambil Ali.
Ditengah-tengah benturan politik antara Khawarij dan Syi’ah, muncul kelompok ketiga, Jabariyyah yang diajukan oleh masyarakat muslim pro-Muawiyah guna menjustifikasi kekuasaannya. Jabariyah mengajukan konsep teologi, bahwa manusia tidak berbuat dengan sendiriya dan apapun yang diperbuatnya tidak berhak dinyatakan sebagai perbuatan sadar manusia. Hakekatnya, memang apapun perbuatan manusia hakekatnya perbuatan manusia, tetapi selalu harus disandarkan  pada Allah. Karena manusia tidaklah berkemampuan, yang selalu terbatasi dalam dalam setiap tindakannya, tidak berkekuasaan, berkehendak dan berkebebasan.
Konflik terus berkelanjutan dengan munculnya faham baru yang mencoba mengcounter faham Jabariyah dan dikenal dengan faham Qadariyah yang dipopulerkan oleh Muhammad Hanifiah seoarang cendikiawan dari keluarga beasr Ali bin Abi Thalib. Bagi faham Qadariyah segala amal  perbuatan manusia segalanya dibawah sadar manusia, dan sesuai dengan kehendak manusia itu sendiri.
Konflik theologis terus berkelanjutan setelah munculnya faham mu’tazilah. Konflik internal semakin meruncing setelah mu’tazilah menggunakan kekuasaan untuk melegitimasi donktrin teologisnya. Melalui Al Ma’mun saat itu dikenal sebagai pengikut fanatik mu’tazilah, doktrin teologisnya disosialisasikan secara taktis kepada seluruh masyarakat muslim saat itu melalui kekuasaannya.
Salah satu doktrin terkenalnya adalah Khuluq Al Qur’an dan bukan qadimnya Al Qur’an seperti yang dikutip oleh Asy’ari dari Hudzail al Allaf itu terilustrasikan. Tragisnya keyakinan itu oleh Mu’tazilah melalui penguasanya (al Ma’mun) dinyatakan dan dipaksakan kepada seluruh imat islam tanpa memandang kapasitas intelektual umat islam melalui pengiriman surat resolusi kepada pembantu-pembantunya.
Disisi lain mu’tazilah meghadapi pertentangan serius dari Ahli Hadits dan Ahli Fiqh yang diwakili oleh Abu Hanifah. Beliau dikenal tegas menentang pemberlakuan taktis oleh penguasa saat itu dengan dilandasi adanya keyakinan bahwa, dengan  taqiyyah bisa menjawab kebodohan  sebagaimana diungkapkan oleh Mun’iem secara tegas Abu Hanifah menolak teolog mu’tazilah, dimana ia mengajukan AlQur’an sebagai ciptaan Tuhan yang herertik dan bukan makhluk.
Kelompok ketiga, Ahl al Hadits dimotori oleh Ahmad bin Hambal yang dengan tegas mengajukan Al Qur’an sebagai kalam Allah yang bukan makhluk dan melakukan counter attack terhadap doktrin khuluk al Qur’an mu’tazilah. Konstruksi Hambal lahir ketika beliau ditanya tentang khuluk al Qur’an. Dengan tegas Ahmad menjawab : al Qur’an adalah kalam Allah yang tidak bertambah dengan tetap berpegang teguh kapada ayatnya “tidak ada yang dapat meyamaiNya sesuatupun dan sesungguhnya Allah adalah dzat yang maha benar dan malihat”.
Dari sinilah kemudian tampil Imam Asy’ari  dalalm kancah pemikiran Islam. dengan sistem metodologis yang dibawanya, ia menjadi tokoh dlam menjawab gelombang helenisme. Bolek dikata ia tidak saja mengukuhkan faham sunni tetapi juga dipandang sebagai penyelamat Islam itu  sendiri dari bahaya helenisme total.
Dengan sistematika Imam Asy’ari ilmu kalam telah memeperoleh kedudukannya yang mantap dalam bangunanan intelektual Islam. seperti tercermin dalam usahanya untuk membuat semacam modus vivendi antara faham Jabariah dan Qadariah. Asy’ari adalah juga merupakan penengah antara dogmatisme kaum sunni konserfatif dan rasionalisme sistem mu’tazilah.
Beliau mengkonstruksi sebuah teologi yang menggunakan  rasio dala mempertahankan ajaran-ajaran keimanan dan memelihara loyalitas terhadap ketetapan-ketetapan wahyu. Sekali lagi Asy’ar mencoba menempuh jalan tengah antara dua ekstrimis, yakni para rasionalis mu’tazilah yang menempatkan wahyu dibawah penalaran, dan antara eksternalis yang berbeda pendekatannya dengan menolak peran nalar dan kembali bersandar pada makna dholir al Qur’an dan Hadits secara murni.
Secara umum Imam Asy’ari mencoba menciptakan satu pola moderat yang hampir berkait dengan semua isu teologis, yang menjadi perdebatan pada waktu itu. Ia tidak hanya memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan isu keagamaan secara khusus, tetpai juga dengan epistemologi dan filsafat umum. Karenanaya tidak heran jika muncul tesis yang berbeda-beda terhadap posisi moderat Asy’ari. Abu Zahrah misalanya yang mengilustrasikan Imam Asy’ari sebagai penengah antara mu’tazilah dan ahli Fiqih serta ahli Hadits.
Posisi moderat Asy’ari seperti yang diajukan oleh Abu Zahrah, nampaknya beum mendapat kesepakatan dari sejarawan lain. Abdurraziq dlam sebuah karyanya “Tamhid fi Tarikh al Falsafah al Islamiyah” mengajukan tesa dimana menempatkan Asy’ari sebagai teolog moratis yang mencoba mengawinkan antara komunitas mu’tazilah dengan ahli Tajzim (Ishbathiyah). Nur Kholis Majid menemukan lain terhadat moderatisme Asy’ari dengan mengatakan sebagaimana yang dimaksudkan oleh pendirinya (Asy’ari), asy’arisme bertujuan mengambil jalan tengah anatara fahan Jabariyah dan Qadariyah serta ketegaran kaum Hambali dan kebebasan berfikir para filsuf. Sedangkan Rahman membuat proposisi moderat Asy’ari sebagai intelektual yang menghubungkan antara sintesa ortodoks dengan sintesa mu’tazilah. Munculnya gagasan-gagasan moderatnya, setelah melihat konflik teologis cukup keras dimana diantara satu komunitas tidak lagi tabu mengkafirkan yang lain.

Reposisi ASWAJA dalam Paradigma Gerakan PMII  
Secara garis besar dalam setiap devinisi ASWAJA harus memenuhi persyaratan jami’ dan mani’, dzahir yang tidak ab’ad, tidak musawwiyan, dan tidak tajawwuz dengan tanpa qarinat mutaharruz. Berdasarkan kaidah-kaidah tersebut maka niscaya mengajukan redevinisi terhadap ASWAJA untuk kemudian mereposisikannya kedalam institusi PMII.
Dalam penjelasan masing-masing dapat dinyatakan sebagai berikut :
Pertama : devinisi dapat dianggap sebagai jami’-mani’ apabila  juz al mu’arrif tidak tercantum kedalam juz mu’arrof atau begitu sebaliknya.
Kedua : devinisi harus dhohiron la ab’adan yang berarti lafadz atau kata-kata yang digunakan dapat dilihat dengan jelas dan dapat difahami oleh akal pikiran (nalar).
Ketiga : devinisi tidak musawwiyan yang berarti antara yang didefungsikan dan mendefungsikan tidak melahirkan persamaan pemaknaan antara keduanya.
Keempat : devinisi harus tajawwuz tanpa adanya qarinah yang mutaharriz yang berarti dlam mendevinisikan tidak menggunakan lafadz tahawwuz dengan tanpa qarinah tertentu bagi sesuatu yang didevinisikan, sehingga  dengan tanpa qarinah tersebut tidak terdapat unsur taharruz dengan yang lainnya.
Dari kritik nalar sejarah diatas, maka dapat dinyatakan bahwa ASWAJA sebagai komunitas pemikiran Muslim yang mengedepankan prinsip moderat yang selalu mengambil jalan tengan dlam menyelesaikan konflik-konflik teologis yang muncul ditengah-tengah masyarakat Asy’ari pada saat itu dan masyarakat Neo-Liberalisme pada saat ini, meski juga harus menyentuh dimensi filosofis, politik dan budaya sera dimensi-dimensi pemikiran Islam lainnya.
Disisi lain Asy’ari mengajukan ASWAJA di NU sebagai usaha untuk mengcounter gerakan pemikiran Islam yang berusaha menghapus tradisis keagamaan Fiqh (bermadzhab) yang sudah menyatu dlam psikologi keagamaan masyarakat jawa pada khususnya dan melayu pada umumnya. Ddari sinilah maka dapat didefungsikan bahwa ASWAJA merupakan aliran pemikiran yang selalu mengedepankan prinsip-prinsi moderatisdan tidak radikal dalam menyelesaikan konflik-konflik keagamaan dan lehidupan sosial macro. Dengan dua prinsip agama tersebut, melahirkan nilai-nilai sufi lainnya seperti Tawazun, Tasamuh, ta’adul dan Tawassuth dan Tathorruf. Tanpa dengan prinsip diatas, maka seseorang atau institusi dan organisasi keagamaan dan masyarakat tidak dapat dinamakan sebagai ASWAJAISME.
ASWAJA kemudian tidak mengharuskan atau megakui kehidupan aksentuasi bermadzhab dengan fanatik buta dalam menyelesaikan seluruh persoalan yang dihadapinya, baik teologi, fiqh, tasawwuf, filsafat maupun dimensi praksis,  seperti sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-lain. Persoalan yang dihadapi NU sebagai institusi sosial keagamaan maupun PMII sebagai Institusi kemahasiswaan ekstra parlemeter kampus yang tetap mencoba eksis memposisikan ASWAJA ditingkat personal maupun kelembagaan yang secara eksistensial tidak lagi berkutat pada dimensi keagamaan semata, tetapi juga memposisikan ASWAJA untuk bersentuhan dengan aspek praksis sosial. Karenanya sangat tidak relefan kemudian bila PMII hanya melihat ASWAJA dari sisi aksiologis pemikiran semata, dengan megesampingkan dimensi ontologis maupun epistemologi ASWAJA.
Prinsip untuk memegang teguh ASWAJA niscaya bagi PMII untuk memaknai ulang ASWAJA dimana ASWAJA tidak lagi berkutat pada identifikasi ASWAJA sebagai kelompok pemikiran yang hanya terkait dengan dimensi fiqhi sentris, tapi juga menyentuh aspek pemikiran keagamaan yang lain dan dimensi kebangsaan. Sekali lagi makna ASWAJA tidak lebih dari kelompok pemikiran yang mengedepankan nilai moderatis dan tidak radikal dalam menyelesaikan seluruh persoalan yang dihadapinya.
Ketika ditarik kedalam wilayah epistemologi, maka ASWAJA bagi PMII lebih tepat dinyatakan sebagai Minhajul Fikr dalam pertimbangan-pertimbangan diatas yang selalu mencoba menyelesaikan seluruh persoalan yang diahadapi PMII melalui penggalian tradisis intelektual klasik sebagai referensi dalam menemukana autentisitas makna ASWAJA secara holistik dan komprehensif.

0 komentar:

Posting Komentar